Pages

Selasa, 04 Januari 2011

Cerita Boneka Pelepah Pisang

Boneka itu memang sederhana sekali, saya dan teman-teman kecil saya sangat gemar membuatnya. Dimulai dengan berburu pelepah daun pisang di kebun, riuh berebut pelepah mana yang akan diambil. Memilih pelepah yang bagus, dengan warna hijau mulus, dengan besaran yang tanggung, dan daunnya pun yang bagus, lembut, tidak kerak jika dibentuk. Kami tidak peduli getah pisang mengenai baju, urusan nanti sore dimarahi ibu-ibu kami karena akan susah mencucinya . . . tak kami pikirkan. Menit berikutnya semua dalam diamnya lisan, tampak serius bekerja. Memainkan pisau yang berhasil “dicuri” dari dapur ibu. Kadang muncul helaan nafas, kadang seruan-seruan kecil tanda gembira atau kecewa akan hasta karya. Pun saya, mulai memisahkan daun dari pelepahnya, hati-hati sekali demi hasil yang sempurna. Memotong pelepah dengan sistematis dengan ukuran 3 jengkal tangan masa kanak saya. Memastikan pelepah itu lurus dan sama besar ujung-pangkalnya. Lalu melubangi salah satu ujung atasnya.


Urusan badan boneka selesai. Berganti ke tahap berikutnya, meraih daun yang telah kami pisahkan sebelumnya. Seperti berlomba, tangan-tangan kecil dengan bantuan ujung lidi mensuwir daun pisang, hingga seperti mie, kecil-kecil agar rapi. Kadang diringi lirikan ke tangan teman yang juga sedang bekerja. Was-was akan ketinggalan, was-was hasilnya tak sebaik mereka. Ingin cepat selesai, namun ingin juga sempurna, sehingga harus hati-hati agar pangkal daun tak terputus. Karena akan fatal. Selesai satu, disusul dengan yang lainnya. Kini tampaklah daun dengan juntaian kecil-kecil yang memanjang.


Dengan hati-hati lagi meletakkan di tanah yang bersih. Lalu menggulungnya seperi menggulung kertas. Memastikan rapi. Tangan kiri memegang badan ‘pelepah’ boneka, sementara tangan kanan erat memegang sembari memasukkan pada salah satu ujung atas pelepah yang telah dilubangi. Lalu menguncinya dengan menyematkan 2 sapu lidi agar tidak terlepas. Jadilah boneka. Tapi tak berhenti disitu, saya dan teman-teman kini berlomba mempercantik boneka, dengan memberikan nama yang paling bagus, memilin bahkan menghias rambut dengan bunga-bunga rumput. Boneka itu kami bawa kemana-mana, kami membuat pentas sandiwara dengan boneka. Larut di dalamnya, seperti lupa waktu. Akan bubar setelah salah satu dari ibu kami, berteriak memanggil menyuruh untuk mandi. Berlarian sambil berjanji besok bertemu lagi, membawa boneka lagi . . . boneka yang dibuat hari ini. Boneka pelepah itu memang akan dibuang setelah badannya menguning dan rambutnya mengering.



Itulah alinea-alinea yang berisi sedikit dari begitu banyaknya kenangan masa kecil. Pernah saya menceritakannya kepada murid-murid saya, saat mereka telah tampak jengah mendengar saya bercerita tentang sejarah. Apa yang terjadi setelah usai bercerita? Wajah-wajah takjub, seolah tak percaya kalau ada boneka dari pelepah pisang, yang tampaknya begitu mudah dibuat dan menyenangkan. Mereka juga bengong, ketika saya mendeskripsikan mainan senapan dari pelepah pisang.


Anak jaman sekarang memang luar biasa, mainannya adalah mainan produksi teknologi canggih, mainannya adalah aplikasi yang bertengger di HP-HP mereka. Jangankan boneka atau mainan lain dari pelepah pisang, bahkan ada di antara mereka yang tidak tahu seperti apa pelepah daun pisang^^ (Seriuuussss . . . murid-murid saya tinggal di lingkungan ibukota kecamatan, minim sawah dan kebun. Daerah pertokoan yang lumayan padat).


Beda sekali dengan kenangan masa kecil yang luar biasa. Penuh dengan kreativitas dengan benda seadanya, bermain secara massal, mengenal satu sama lain dengan begitu akrabnya. Bahkan dari kampung sebelah. Sehingga tidak menjadi pribadi-pribadi apatis dan egois. Zaman memang telah banyak berubah, pergeseran ini sudah dipastikan berpengaruh besar pada perkembangan apapun, termasuk perkembangan generasi masa depan. Harus ada cara agar mereka tak menjadi generasi yang pragmatis. Benar apa yang dikatakan oleh Ali Bin Abi Thalib “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, bukan sesuai dengan zamanmu”. Tentu, agar mereka tetap menjadi generasi yang diharapkan.


1 komentar:

  1. kalau saya dulu pernah main di sungai dari siang sampe sore ndak ada yang mencari, mencari burung dengan menggunakan ketapel dari mulai pagi sampe sore juga ndak ada yang nyari..
    kalau hujan hujan malah ramai-ramai bermain sepak bola tanpa orang tua khawatir..
    yah itu semua adalah tempo dulu..
    lain ladang lain belalang.. lain dulu lain sekarang..
    yah semoga meski sekarang dampak teknologi begitu santer semoga sosial mereka senantiasa terjaga. Jangan sampe generasi-generasi sekarang adalah generasi-generasi anti sosial..

    kalau bukan dari kita yang harus menjaga mereka, siapa lagi??

    BalasHapus