Foto ini saya ambil saat berhenti di lampu merah. Perempatan lampu merah yang berjarak sekitar 200 meter dari SD tempat saya mengajar. Hampir setiap hari, ketika saya pulang sekitar pukul 12.20 melewati perempatan dan berhenti karena interupsi lampu merah, saya selalu melihatnya. Sepeda motor dengan kayu-kayu palang yang dimodifikasi sedemikian rupa, tempat bapak itu menata ikan-ikan hias dagangannya. Yang membuat saya tertarik dan bertasbih ketika melihatnya adalah tulisan sederhana yang dilapis plastik “MASIH SHOLAT” bertengger menghiasi, terpampang disela-sela puluhan plastik ikan hias.
2 menit berhenti di lampu merah, cukup lah bagi saya membaca suasana. Bapak penjual itu memang tak disana. Beliau meninggalkan dagangannya begitu saja, dengan selembar pesan sederhana “MASIH SHOLAT”. Saya perkirakan bapak itu sedang sholat di masjid depan terminal, sebelah kantor Telkom, sekitar 150 meter dari tempat dia memarkir ‘dagangannya’. Tanpa takut tiada seorang yang akan usil mengambil dagangannya. Pernah juga sesekali melihat ada calon pembeli yang melihat-lihat sambil menunggu si bapak ikan kembali. Saya duga dia memarkirnya disitu karena banyak orang lalu lalang di trotoar dekatnya, sehingga lebih mudah menawarkan dagangan. Kenapa tak di depan masjid, karena tak ada pohon rindang di masjid itu. Lebih dari itu berjualan di depan masjid, kan dilarang.
Setiap lewat situ, dan melihatnya. Membuat saya ingat kejadian yang juga menakjubkan. Saat itu pada bulan Ramadhan, di siang dhuhur yang terik. Ketika saya sambil berusaha menahan kantuk, mengendarai sepeda motor menuju ke SMA (tempat saya memberi mentoring ke adek2 binaan). Tidak kencang saya melarikan sepeda motor, menyusuri jalan antar kecamatan menuju ibukota kabupaten, yang di kanan kirinya adalah ladang tebu. Maklum, juga sedang musim giling gula, walaupun puasa namun aktivitas memenuhi stock tebu ke Pabrik Gula harus tetap jalan.
Sampai pada akhirnya, ekor mata saya melihat sekitar 20 meter di depan, arah pukul 10, saya melihat seorang bapak dengan kulitnya yang menghitam terbakar panas matahari, sedang rukuk shalat . . . di bawah pohon rindang, di tepi ladang, beralas daun-daun ketela pohon yang telah ditata sedemikian rupa. Tanpa sadar kecepatan sepeda saya berkurang, ingin mengamati lebih lama. Sementara sekitar 10 meter di belakang bapak penebang tebu yang shalat tadi, tampak beberapa penebang lain yang tengah duduk-duduk santai. Menikmati istirahatnya, menyantap makan siang dengan lahapnya. Beberapa diantara mereka mengepulkan asap rokok (nah looo bukannya siang Ramadhan). Sayang sekali saya lupa tak mengabadikannya.
Bapak penjual ikan dan Bapak Penebang tebu tadi setidaknya sangatlah luar biasa dimata saya. Orang-orang yang istiqomah ditengah deru hidup yang membadai. Himpitan ekonomi yang menyesakkan dada. Dalam kondisi berat, godaan, lingkungan yang lebih sering tidak pro dengan mereka tak membuat mereka lupa. Berhenti sejenak untuk menemui-Nya. Tanpa khawatir ikan-ikan itu diambil orang yang usil. Dengan bersahaja tetap menemui-Nya, yaa hanya beralas tanah keras ladang tebu yang tertutup daun seadanya, juga dengan godaan luar biasa.
Yaaa setiap melihatnya, mengingatnya, selalu menjadi buah pelajaran bagi saya dan semoga bagi kita semua. Pelajaran yang luas tiada bertepi, tak sekedar untuk selalu menepati waktu bertemu dengan-Nya. Namun juga tentang hidup dan kehidupan itu sendiri. Kehidupan yang saat ini tengah kita jalani. Dengan macam alur dan skenario yang tiada sama.
Setiap melihatnya, dan mengingatnya . . . lirih sekali saya berkata . . . mudah-mudah keberkahan Allah atas setiap risky dari usaha kerja mereka, usaha dan kerja berat yang tak memalingkan dari panggilan-Nya. Amin.
subhanallah, sangat menginspirasi...
BalasHapushemm mereka bukanlah orang terkenal bukan pula para pejabat, tapi sikap mereka bener2 sangat menginspirasi...
BalasHapussemoga dagangan dan pekerjaan penebang tebu itu barokah.. subhanallah...
Subhanallah...luar biasa...semoga kita bisa mengambil hikmahnya..
BalasHapus