Pages

Minggu, 30 September 2012

Hari-Hari, Jam-jam, Detik Demi Detik Pengalaman Saya Melahirkan Hanan (Part 2)


 Sebelumnya di Part 1

#Selasa, 18 September 2012 Hari penentuan

Sebelum subuh saya sudah terbangun, sekitar pukul 04.00. Tubuh dan pikiran saya lebih segar, entah apa yang akan terjadi . . .yang penting saya merasa lebih optimis. Saya langsung sibuk di dapur, berberes dengan segala piranti dapur yang perlu dicuci sambil masak air untuk mandi dan membuatkan teh panas untuk suami. Di masa ini saya merasakan kontraksi yang mulai nyeri, walaupun toleransi rasa sakit/nyeri saya masih cukup tinggi. Saya merasakan kontraksi sudah 2-3 kali dalam 10 menit. Usai mandi, shalat subuh saya banyak berdoa pada Allah. Berpasrah atas segala kemungkinan yang terjadi hari ini. Memohon agar diberi kesabaran dan kekuatan apapun yang terjadi.


Sepulang suami dari mushola dekat rumah, dia menawarkan untuk menemani jalan-jalan pagi. Saya menolak, saya ingin berberes kamar dan segala sesuatu yang kira-kira belum saya siapkan untuk pergi ke rumah bersalin untuk melahirkan normal ataupun ke rumah sakit untuk operasi Caesar. Lagipula 30 menit lagi kami berencana mencari opini bidan. Ditengah kesibukan saya, saya bilang ke suami, akan mencoba normal, walaupun diinduksi. Meskipun harus merasakan sakitnya induksi, asal ada tangan suami tempat berpegang, insyaAllah saya kuat. Jelas sekali disini memang saya sama sekali tak siap jika harus operasi. Persiapan untuk kemungkinan terburuk sejak awal kehamilan yaitu jika harus operasi Caesar, yang saya dan suami siapkan hanya sebatas biaya dan kartu ASKES. Selebihnya tidak sama sekali. Sekali lagi fisik, jiwa, hati, dan perasaan saya siap untuk persalinan normal. Tulisan Bidan Yessi dalam bukunya Gentle Birth dan sitenya di Bidan Kita, juga video persalinan normal menakjubkan yang saya lihat memang sangat mempengaruhi saya. Saya sangat ingin melahirkan normal dengan “indah” penuh “cinta”. Untuk itu selama ini saya rajin mempraktekan senam hamil dan yoga, relaksasi, juga berlatih pernapasan sesuai yang tertulis di buku “Gentle Birth”.


Menanggapi keinginan saya untuk mencoba persalinan normal lebih dulu walaupun dengan induksi, suami saya hanya menganggukkan kepala. Namun saya tak tahu bagaimana perasaan sebenarnya. Pukul 05.35 dengan dibonceng suami saya berangkat ke bidan (rumah bersalin, rencana saya akan melahirkan normal) tak membawa apa-apa hanya buku KIA dan dompet. Saya merasakan kontraksi masih intens, 2-3 kali dalam 10 menit. Semoga ini pertanda baik. Saya mengusap perut, insyaAllah hari ini dedek akan ketemu bunda dan abi.

#Selasa, 18 September 2012 di Bidan Praktek Swasta, Konsultasi dengan Bidan Pristi, lama yang mencerahkan

Antri 5 menit, saatnya kami berdua masuk. Langsung disambut senyum lebar Bidan Pristi. Tak perlu nunggu lama, saya langsung cerita dari A – Z tentang progress kontraksi dan pertemuan dengan dr.Ardian malam sebelumnya. Bidan Pristi serius mendengar cerita saya. Kemudian dia menyampaikan pendapatnya, beliau menjelaskan posisi bayi saat proses persalinan. Ada saatnya dalam proses persalinan, bayi menghadap ke jalan lahir, namun itu saat bayi sudah benar-benar siap keluar . . . saat tinggal satu kali dorongan, dan bayi lahir. Bidan Pristi menyebut posisi ini dengan posisi titik puncak. Namun bayi saya posisinya masih jauh dari jalan lahir, dan posisinya sudah posisi puncak. Lalu Bidan Pristi menceritakan pengalamannya 4 kali menolong kelahiran bayi dengan posisi seperti bayi saya. Subhghanallah mendengar ceritanya menunjukkan perjuangan yang luar biasa kuat, luar biasa lama, penuh pertaruhan. Bahkan salah satu diantaranya, bayi lahir dalam kondisi koma.

Setelah cerita, bidan Pristi memeriksa detak jantung janin saya. Bagus. Menghitung kontraksi yang saya alami, sudah cukup intens. Melakukan pemeriksaan dalam (VT) sudah pembukaan 1 tipis (hampir 2). Panggul cukup dilewati bayi. Namun saat melakukan penekanan terhadap kepala bayi, ada satu kondisi yang memang tidak seperti biasanya (ini saya kurang paham). Setelah melakukan pemeriksaan, Bidan Pristi berinisiatif untuk langsung menelepon dr.Ardian. Dalam percakapan yang saya dengarkan, Bidan Pristi menanyakan apa benar posisi bayi adalah posisi titik puncak. Bidan pristi juga menyampaikan hasil pemeriksaan dalam. Bidan Pristi memutuskan untuk melakukan rujukan ke RS. Griya Husada (sama dengan tawaran dr.Ardian sebelumnya). Bidan Pristi yang saya harapkan akan menjadi pendamping saya melahirkan normal, ternyata juga angkat tangan. Alasannya cukup logis, posisi bayi tidak menguntungkan. Jika memaksa melahirkan normal, ini ibarat sebuah pertaruhan besar. Apalagi ini adalah “bayi mahal” (istilahnya Bidan Pristi) karena penantian mendapatkannya cukup lama.

Atas rujukan Bidan Pristi, juga testimoninya terhadap dr.Ardian via telepon, pada akhirnya surat rujukan untuk operasi Caesar tersebut sudah ditangan. Ini final. Ternyata “dedek” di rahim saya telah memilih waktu dan caranya sendiri. Hari ini dan dengan operasi Caesar. Dalam perjalanan pulang ke rumah, ditengah kami menghitung-hitung uang yang ada di rekening juga memperkirakan biaya, suami saya masih sempat bercanda Bayi ini memang mahal maka dilahirkan pun minta dengan cara yang mahal ^^.

Sampai di rumah, kami berdua menyampaikan hasil kunjungan ke Bidan Pristi kepada mbak dan bapak saya. Sementara suami menghubungi mertua, saya masih bisa mempersiapkan sarapan untuk suami. Yaa . . . untuk suami saja, Bidan Pristi yang tahu sejak pagi saya belum makan apa-apa menyuruh saya untuk langsung berpuasa (Ini nanti akan menjadi penderitaan tersendiri bagi saya, saya makan terakhir pukul 21.00, malam sebelumnya, menahan haus dan lapar –walaupun tak lemas karena diinfus- lebih dari 24 jam), kontraksi yang terjadi semakin intens, saya masih bisa mentoleransi rasa sakitnya. Sambil menunggu mobil mertua, saya juga berberes. Tas baju saya dan suami yang sudah siap saya bongkar, dipindah ke koper dan ditambah jumlahnya.

#18 September 2012, di RS Griya Husada Madiun

Pukul 08.30, kami, saya, suami, bapak-ibu mertua berangkat ke rumah sakit. Kakak saya menyusul dengan sepeda motor. Dalam mobil saya terus mencoba berdamai dengan kondisi yang tengah dan akan saya hadapi. Saya memegang tangan suami, setiap terjadi kontraksi yang terasa lebih nyeri, saya remas tangannya.

Sampai di Griya Husada, suami mengurus pendaftaran. Saya masih bisa mengisi aplikasi askes dan beberapa formulir lainnya. Saya dan suami masih ringan, tanya ini dan itu ke petugas, juga memilih kamar perawatan. Urusan formulir selesai, maka selesai pulalah rasa ringan di hati saya. Bidan dan perawat menyuruh saya masuk ke ruang persiapan, sendirian saja. Saya diminta mengganti pakaian, lalu diinfus. Bidan juga melakukan pemeriksaan dalam, menghitung detak jantung janin dengan alat Doppler, memasang kateter. Setelah selesai, suami saya boleh masuk. Begitu melihatnya, saya langsung meneteskan air mata. Entahlah . . . kondisi psikis saya yang kembali buruk, membuat segala sesuatunya tidak nyaman. Mendengar operasi dilakukan pukul 12.30 saya tambah down, artinya saya harus berada dalam kondisi tersebut sekitar 3 jam. Sementara kontraksi semakin lama semakin terasa sakit. Yang bisa saya lakukan hanya menangis, suami terus menyemangati saya, untuk banyak istighfar.

Yang terbayang dipikiran saya adalah cerita dan beberapa tulisan yang saya baca tentang operasi Caesar. Bahwa persalinan Caesar itu sembuhnya lama, bahkan saudara sepupu suami 1 bulan hanya bisa tidur-tiduran, kemana-mana digendong atau dipapah, banyak menimbulkan trauma baik bagi ibu ataupun bayi. Dan yang paling menakutkan adalah pengalaman seorang ibu yang Caesar saat bertemu dengan bayinya, merasa tak jatuh cinta. Apakah saya juga tak akan jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap dedek. Mengingat itu saya menangis lagi . . . saat ditanya suami, kenapa menangis lagi, saya hanya bilang “rasanya tidak nyaman”

30 menit sebelum masuk ke ruang operasi, bidan meminumkan obat agar tak muntah di ruang operasi. Tapi karena kondisi psikis saya yang sangat buruk dan dalam kondisi puasa tak sampai 30 detik saya usai minum obat, justru perut saya mual, keluarlah semua 6 sendok obat sirup yang tadi saya minum, membasahi jilbab yang saya pakai. Kakak dan perawat membantu membersihkan. Suami mengganti jilbab yang saya pakai. Dengan posisi duduk saya meminum obat itu kembali, kali ini saya minum sendiri dengan dibantu suami.

#Selasa, 18 September 2012, menuju ruang operasi

Tibalah saatnya saya harus dibawa ke ruang “eksekusi”. Saat itu saya sudah pembukaan dua, dan merasakan ketuban sudah pecah, membasahi kain yang saya pakai, kakak saya masih sempat mengganti kain sebelum saya dibawa ke ruang operasi. Pintu terbuka, ibu mertua saya masuk mencium kening dan pipi saya. Air mata saya terus mengalir, suami saya mendekat. Agak kabur saya memandangnya, namun masih cukup jelas bagi saya, dia juga menangis, mendekatkan wajahnya, memegang kening saya, dan berbisik adek harus kuat . . . adek harus kuat. (Selama 3 tahun 8 bulan menikah dengannya, sungguh baru kali ini saya melihat suami saya menangis . . .hehe). Dark Bar saya didorong melewati lorong-lorong rumah sakit, saya bersyukur kakak dan suami saya berkeras hati mempertahankan kerudung saya tetap terpasang rapi, walau hanya sampai pintu ruang operasi.
















Bersambung ke Part 3

Jumat, 28 September 2012

Hari-Hari, Jam-jam, Detik Demi Detik Pengalaman Saya Melahirkan Hanan (Part 1)

Saat saya dinyatakan hamil, saat itu juga saya bertekad bulat untuk bisa melahirkan normal. Naluri saya sebagai seorang perempuan menggugah segenap diri saya untuk mempersiapkan fisik, jiwa, batin, segenap pengetahuan, tips juga trik untuk menghadapinya. Hingga diambang waktu HPL persalinan saya benar-benar siap merasakannya. Namun saya, anda, dan kita semua hanyalah manusia yang bisa berencana. Untuk hak penentuannya hanyalah milik Allah, Rabb Semesta Alam.

Hari Perkiraan Lahir (HPL) dedek adalah tanggal 16 September 2012 atau berdasarkan hitung-hitungan pakai rumus dari HPHT (Hari pertama haid terakhir) HPLnya adalah tanggal 18 September 2012.

#Jumat, 14 September 2012 Drama kelahiran Dek Hanan dimulai dari sini.
Saya mulai merasakan perut saya sering kencang. Walaupun masih per satu jam dan tidak kuat, saya yakin ini adalah signal dari dek Hanan bahwa 1-2 hari lagi dia akan lahir. Namun saya belum mengSMS suami, karena kontraksi yang saya rasakan masih kacau dan susah dihitung. Barangkali hanya kontraksi palsu. Ternyata sebelum saya SMS suami, suami SMS duluan. Menyatakan akan pulang besok. Saya sempat kaget. Saya yang saat itu sedang liqo’ di rumah, jadi berpikir dan GR . . . ehm mungkin ini adalah signal juga, naluri seorang suami calon abi. Semakin optimislah saya bahwa kontraksi yang saya alami akan semakin bertambah dan intens.

#Sabtu, 15 September 2012
Pagi seperti biasa, 20 menit setelah shalat subuh saya jalan-jalan didepan rumah, naik turun tangga teras. Induksi alami agar kontraksi yang sempat saya rasakan kemarin semakin terasa dan bertambah. Siangnya saya membuat jus nanas agar kontraksi semakin kuat, benar saja nyeri mulai saya rasakan. Pinggang saya mulai sakit. Saya tambah yakin besok dek Hanan akan lahir. Saya mengSMS suami, memastikan dia sudah dapat tiket untuk pulang sore ini, sehingga minggu subuh sudah sampai Madiun. Tapi entahlah apa yang terjadi, usai mandi dan shalat dhuhur serta tidur sebentar saya tak merasakan kontraksi lagi. Hanya kencang-kencang seperti hari sebelumnya.


#Minggu, 16 September 2012
Ini hari yang diperkirakan dek Hanan akan lahir. Pagi jam 6 suami sudah ada di rumah. Saya lebih tenang. Kencang-kencang di perut masih datang dan pergi tapi progressnya sangat lambat sekali. Siang harinya sekitar jam 9 saya mengajak suami jalan-jalan ke Madiun Plaza, kami muter-muter di foodcourt dan Gramedia tujuannya untuk induksi alami. Kami berdua juga mampir ke tempat makan favorit di ABWS. Sampai rumah sekitar jam 14.00, lelah namun progress kontraksi dan kenceng-kenceng tidak bertambah. Terus terang saya mulai bimbang. Wah dek Hanan tak akan lahir hari ini. Diantara kebimbangan saya, suami mengajukan tawaran, Mas tunggu sampai rabu yaa .  . . kalau belum lahir, mas berangkat dulu ke Bandung. Agak deg deg kan juga saya. Bismillah saya mengangguk. InsyaAllah besok atau lusa dedek akan lahir.

#Senin, 17 September 2012
Pagi hari saya jalan-jalan ditemani suami, kini dibuat rutenya tambah jauh. Sekali lagi induksi alami. Tak ada perkembangan dari progress kontraksi, terus terang saya mulai stress dan nangis. Berkali-kali suami mengingatkan untuk  bersabar. Untuk mengalihkan konsentrasi, saya membantu suami membuat antenna indoor untuk dipasang di kamar kami. Disela kesibukan membuat antenna tersebut, saya berinisiatif untuk mencari 2nd opinion ke dr. Ardian Sp.OG barangkali HPLnya yang keliru. Akhirnya sore harinya, dengan dibonceng suami, kami menuju ke tempat praktek dr.Ardian yang ada di dekat SMA 2 Magetan. Antrian ke 11, masih lama. Menunggu jeda tersebut kami memutuskan untuk menunggu adzan maghrib di Masjid Agung Magetan (disini saya merasa agak asing, beda banget yaa suasana masjid Agung Magetan dan masjid Agung Madiun hehe) Disini juga saya merasa tubuh saya kurang nyaman, saya mengalami heartburn (dada terasa panas, karena asam lambung naik, biasanya terjadi di kehamilan trimester 2 dan 3).

Usai shalat Maghrib setelah mampir sebentar di indo***** untuk membeli minuman dan makanan kecil kami berdua kembali ke tempat praktek dr.Ardian. Di sela menunggu, saya masih bercanda dengan suami, juga mengSMS teman sekantor yang istrinya baru saja melahirkan. Rencananya sepulang dari dr.Ardian mau mampir untuk melihatnya di rumah bersalin

Tibalah namanya saya dipanggil, dengan didampingi suami tercinta saya masuk ke ruang praktek dr.Ardian. Setelah duduk saya menceritakan tentang kehamilan saya, usia, HPL, juga yang saya alami 2 hari terakhir, juga kerisauan saya. 2, 3 menit kemudian dr.Ardian telah siap mengUSG saya. Mengukur lingkar kepala yang masih terlihat utuh. Kondisinya bagus, namun untuk usia kehamilan lebih dari 40minggu biasanya yang tampak tak seutuh itu. Ini artinya kepala bayi saya belum turun ke jalan lahir. Saya masih tenang. Detak jantung janin bagus, normal. Saya tersenyum senang.

Layar monitor USG yang awalnya 2D, berganti 4D. Kini menunjukkan gambar blur wajah bayi saya. Saya cukup excited. Dedek Bunda dan abi merindukanmu. Pada tahap ini dr.Ardian menjelaskan kepalanya bagus, tak ada lilitan di leher. Saya senang sekali. Namun kata-kata dr.Ardian berikutnya membuat saya dan suami down “tapi harusnya tidak begini. Dalam usia sudah HPL begini, seharusnya ketika di USG yang kelihatan bukan wajahnya tapi punggungnya. Ini artinya bayi ibu posisinya menghadap jalan lahir. Sehingga susah turun dan kontraksinya lambat. Ada 2 cara untuk melahirkannya. Yang pertama dengan dirangsang, dibuat kontraksi (induksi) dan operasi cesar.” Sungguh seperti ada sesuatu yang membuat dada saya sesak. Selain masalah posisi dr.Ardian juga menjelaskan tentang kondisi ari-ari yang sudah mulai kadaluarsa, ditunjukkan dengan warna putih-putih di layar USG. Entahlah dada saya bertambah sesak. Mendengar kata induksi dan cesar menjadi momok bagi diri saya. Saat ditawari surat rujukan ke RS.Griya Husada, saya menolak ingin berpikir dulu malam ini.

Dalam perjalanan pulang saya banyak diam, kata-kata suami yang mencoba menguatkan (walaupun saya tahu, dia sendiri juga schok dengan kondisi tersebut) tak terlalu saya dengar. Saya sibuk dengan pikiran sendiri, saya masih tak percaya dengan kondisi dedek. Niat untuk mampir ke tempat bersalin istri teman kantor pun urung. Di tengah perjalanan berteman gelap jalan, saya menawarkan pada suami untuk membeli makan malam. Dia sempat menolak, tapi saya memaksa, saya tak ingin kondisi psikis kami yang sedang tak stabil tambah buruk karena mengabaikan makan.

Di rumah setelah shalat isya dan makan, saya berniat search tentang posisi janin menghadap jalan lahir via google. Namun suami saya melarang, dia khawatir saya tambah stress dan ketakutan. Akhirnya saya hanya membuka buku panduan kehamilan terbitan Ayahbunda. Disitu saya mencari informasi tentang alasan medis dan logis persalinan dengan operasi cesar. Dalam literature yang saya baca ada beberapa alasan untuk operasi cesar apabila ditemukan indikasi medis seperti:
  • Letak plasenta terlalu rendah, sehingga menutup jalan lahir (plasenta previa)
  • Bayi kekurangan oksigen
  • Bentuk janin dan panggul tidak proposional (mis: panggul sempit)
  • Pre-eklampsia (komplikasi kehamilan)
  • Ibu mengalami tekanan darah tinggi
  • Bayi sungsang di kehamilan pertama
  • Bayi terlalu kecil dan badannya lemah
Disitu tidak saya temukan alasan operasi Caesar dengan alasan posisi bayi menghadap ke jalan lahir (menghadap ke muka), saya juga membaca tahapan operasi Caesar. Ah benar saja saya tambah bimbang. Haruskah saya melahirkan buah hati yang hampir 4 tahun kami tunggu ini dengan operasi Caesar. Sebelum mencoba untuk tidur, saya dan suami mengambil inisiatif untuk mencari pendapat bidan (yang rencana awal akan menolong saya dalam proses persalinan normal) esok pagi, lalu ke RSI untuk mendengarkan pendapat dr.Santi.

Saya mencoba tidur, kontraksi yang saya rasakan mulai teratur. Rasanya nyeri kencang di perut, menyebar ke punggung seperti ditarik. Dengan posisi miring ke kiri saya berusaha keras menenangkan pikiran, menekan emosi, merasai kontraksi, banyak bertasbih dan istighfar. Sambil mengusap-usap perut, membujuk dedek agar mau berganti posisi. Pada akhirnya saya jatuh tertidur dengan air mata menetes dari sudut mata, dan merasakan suami memegang tangan saya.

InsyaAllah masih ada Part 2 ^^

Tulisan dengan kisah yang sama, namun ditulis dari sudut pandang berbeda ada di sini

Kamis, 27 September 2012

Alhamdulillah, Hanan Telah Lahir


Dek Hanan, beberapa menit setelah lahir, setelah dikumandangkan adzan dan iqomah di telinga oleh abinya.
Alhamdulillah, setelah 40 minggu merasakan keberadaannya di dalam rahim saya, akhirnya saat yang dirindukan telah tiba. Pertemuan dengannya, Selasa 18 September 2012 puku 12.55. Dia perempuan, anak kami. Kami beri nama HANAN NAQIYYA. Nama yang sudah jauh hari kami siapkan.


HANAN NAQIYYA
Hanan = Penyayang
Naqiyya = Jernih
“Anak perempuan yang penyayang dan berhati jernih” Itulah harapan kami terhadap anak ini.


Selamat datang nak, terima kasih telah hadir dalam kehidupan bunda dan abi. Segala Puji hanya untuk-Mu Yaa Rabb atas amanah, dan segala kemudahan yang telah Kau beri. Alhamdulillahirobbilalamin.

Jumat, 14 September 2012

Perasaan Saya Menjelang Proses Persalinan


Saya masih ingat benar waktu itu. Kamis, 26 Januari 2012. Saat saya mendapatkan test pack berstrip 2, menunjukan hasil positif di tangan saya yang sedikit gemetar, menyimpan rasa tak percaya sekaligus bahagia. Ketika usai shalat Subuh, saya mengSMS suami saya yang sedang ada di Bandung. Tak segera mendapat respon. Dia baru merespon dengan langsung menelepon saya setelah hampir 90 menit kemudian. Saat saya sudah berada di ruang kelas VI, memberi les tambahan pelajaran sejak pukul 05.30. Saat itu sambil menahan air mata haru (walau akhirnya netes juga), saya bercerita kepada suami dengan apa yang saya alami sebelum subuh tadi. Dia mendengarkan dengan seksama. Telepon singkat pagi itu ditutup dengan pesan darinya untuk berhati-hati, dan ucapan tahmid kami berdua.

Ahhhh itu tadi, selintas ingatan akan sebuah peristiwa yang diawali sebelum subuh di 1/3 malam terakhir, 8 bulan yang lalu. Saat saya tahu Allah SWT memberikan nikmat luar biasa, memberikan bakal amanah di rahim saya. AllahuAkbar. Kini setelah melewati pekan demi pekan, saya seperti bertranformasi. Secara psikis, emosi, dan yang jelas fisik. Segala macam rasa silih berganti memenuhi hati, menggurat emosi secara berganti. Di pekan ke 39 ini pun demikian. Mendekati proses persalinan, perasaan saya didominasi 2 macam rasa. Rasa senang karena akan segera melihat “dia” dan rasa khawatir atau cemas. Maklumlah hamil pertama, mengalami proses persalinan pertama. Toh biasanya apa-apa yang pertama membuat cemas.

Dominasi khawatir saya lebih disebabkan karena hubungan “special” saya dengan suami, masih long distance. Siapapun wanitanya jika melahirkan pasti ingin didampingi oleh suaminya. Disupport habis-habisan saat berjuang. Ini sangat menjadi cita-cita saya. Namun saya khawatir jika hari H suami ternyata belum ada di sisi, masih diperjalanan yang memakan waktu 10 jam. Saya sempat uring-uringan dengan kemungkinan tersebut, yang pada akhirnya saya menyampaikan ketakutan saya sambil menangis tersedu-sedu via telepon kepada suami saya. Saat itu rasanya saya tak akan mampu jika dia tak mendampingi saya. Saya berpikir tangan siapa yang akan saya pegang erat, tubuh siapa yang akan menjadi sandaran ketika saya mengalami kontraksi yang sudah ekstrim. Sementara saya beranggapan orang-orang terdekat saat ini pun akan tetap terasa asing. Kelemahan jiwa saya saat dipenuhi ketakutan jua berandai, ehmm jika ibu saya masih sehat dan masih ada di dunia ini pasti saya tak setakut ini, tak selemah ini. Andaian saya itu untuk beberapa menit bergelayut, yang akhirnya saya buang dengan banyak-banyak istighfar.

Menanggapi sedu sedan saya, suami saya tercinta diam mendengarkan. Setelah puas saya tumpahkan, beliau mengambil alih kendali pembicaraan. Dengan sabar beliau mentausyiahi saya. Tak tanggung-tanggung lebih dari 30 menit. Hati saya semakin luruh, bebalnya prasangka yang menakutkan bergeser. Walaupun belum 100%, namun terasa jauh lebih lapang. Saya seperti menemukan kembali keoptimisan saya. Tanpa sedan, air mata saya terus mengalir, mendengar suara suami diujung telepon. Suara dengan kalimat yang menguatkan. Rangkaian kalimat yang begitu saya ingat “Adek tidak boleh berpikiran bahwa mas adalah tempat bersandar, bahwa semua tak akan berjalan lancar jika tak ada mas, bahwa adek tidak akan kuat jika mas tidak mendampingi. Ingatlah Allah lah tempat terbaik untuk bersandar, Allah lah yang akan memberi kekuatan. Allah lah yang member pertolongan, bukan mas juga bukan bidan. Semakin dekatkan diri pada Allah, maka Allah juga akan semakin dekat. Berprasangka baik pada Allah. Kita berencana menyiapkan segala kemungkinan, namun hanya Allah yang berhak meng”iya”kan”. Benar saya tersentak, orientasi saya sebelumnya bersandar pada kekuatan manusia yang sangat lemah. 


Saya merefresh kembali jiwa, rasa, hati, dan pikiran saya. Yup saya optimis apapun yang terjadi, saya berprasangka terbaik. Saya yakin “dedek” akan memilih waktu sendiri untuk lahir, dan cara sendiri. Bahwasannya Allah akan memberikan skenario terbaiknya. Plan A, plan B, plan C, telah tersusun di benak saya. Antisipasi apapun yang terjadi. Berbekal usaha dan doa. Bismillah.



Kini ditengah menghitung detik demi detik, melalui hari. Merasai setiap kontraksi rahim saya, entah palsu entah asli, dan mencatatnya, mengamatinya, saya hanya bersyukur sembari berdoa. Ditemani 3 buku referensi yang saya punya, browsing-browsing di site-site kebidanan, saya membandingkan dengan apa yang saya rasakan. Membuat catatan sederhana tentang setiap perubahan. Ya, harapannya apa yang saya lakukan bisa menjadi signal dari “dedek” di perut saya, dan mengabarkan kepada suami saya akan segala kemungkinan. Mudah-mudahan Allah memberikan kemudahan. Terakhir, dalam persiapan menghadapi persalinan tidak cukup tahu bagaimana proses persalinan, dan teori-teori yang memudahkan, namun penting sekali mempunyai kekuatan spiritual, prasangka terbaik akan pertolongan dan kuasa yang Maha Perkasa. Allah Azza Wa Jalla.