Pages

Kamis, 27 Januari 2011

Dua Douwes Dekker yang Berbeda

“Douwes Dekker adalah mantan residen Lebak, ia menulis buku Max Havelaar dengan nama samaran Multatuli. Isi buku menceritakan penderitaan rakyat selama 31 tahun sewaktu dilaksanakan tanam paksa. Buku itu menggegerkan warga Belanda, akhirnya tanam paksa dibubarkan. Douwes Dekker juga ikut mendirikan Indische Partij”
Potongan paragraf tersebut saya temukan pada buku Ilmu Pengetahuan Sosial untuk kelas 5 SD, karangan Siti Syamsiyah dkk. Buku ini lisensinya sudah dibeli oleh pemerintah dan dapat di download gratis di BSE. Ketika membaca potongan paragraf di seperti di atas, sesaat sebelum saya mengajar tentang sejarah pergerakan nasional, saya merasa ada yang janggal, merasa ada yang salah.

Informasi yang didapatkan ketika membaca kalimat-kalimat kutipan di atas, secara tersirat ataupun tersurat dapat disimpulkan bahwa Douwes Dekker penulis buku Max Havelaar dan Douwes Dekker pendiri Indische Partij adalah orang yang sama. Padahal, saya masih mengingat dengan baik kata-kata guru sejarah SD saya, bahwa keduanya adalah orang yang berbeda. Douwes Dekker penulis Max Havelaar berbeda dengan Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi) si pendiri Indische Partij. Nah loo mana nih yang benar . . . . . selama ini saya meyakini keduanya dua orang yang berbeda.

Pada akhirnya saya nyari-nyari informasi di Internet, bertemulah saya dengan informasi yang super jelas di Wikipedia. Dan keduanya adalah dua orang yang berbeda. Tak sama, seperti yang di infokan di buku IPS Siswa. Berikut adalah penjelasannya . . . . . . .


Douwes Dekker adalah nama keluarga (surname) dari Belanda, yang merupakan gabungan dari Klan Douwes dan Dekker. Dua dari anggota klan ini yang menjadi tokoh zaman penjajahan dan pergerakan di Indonesia adalah Eduard Douwes Dekker (Si Multatuli) dan Ernest Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi).






Eduard Douwes Dekker

Eduard Douwes Dekker, yang mempunyai nama pena Multatuli lahir di Amsterdam, 2 Maret 1820. Dia adalah orang Belanda yang menentang keras Sistem Tanam Paksa (Culture Stelsel), Douwes Dekker menceritakan penderitaan rakyat pribumi karena tanam paksa dalam bukunya yang berjudul Max Havelaar. Eduard Douwes Dekker adalah saudara dari kakek Ernest Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi)




Ernest Douwes Dekker

Sementara, Ernest yang mempunyai nama lengkap Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (EFE Douwes Dekker) atau Danudirja Setiabudi lahir di Pasuruan 8 Oktober 1879. Ia adalah seorang peletak dasar nasionalisme. Ibunya adalah seorang Indo, karena neneknya adalah orang Jawa yang menikah pria Belanda. Sehingga darah pribumi mengalir di tubuhnya. Mungkin sebab itu juga, dia lebih suka disebut sebagai orang Indonesia daripada orang Belanda. Pada awal pergerakan Nasional bersama Ki Hajar Dewantoro dan dr. Cipto Mangunkusumo yang tergabung dalam Tiga Serangkai, Danudirja Setiabudi mendirikan organisasi Indische Partij. Bersama Ki Hajar Dewantara pula ia ikut dalam dunia pendidikan. Dan mendirikan sekolah “Ksatrian Instituut” di Bandung. Danudirja meninggal dan dimakamkan di Bandung tanggal 28 Agustus 1950. Dan mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional.



Nah dari uraian informasi yang sudah saya rangkum di atas, berarti pernyataan dalam buku yang saya baca tidak benar. Dua Douwes Dekker yang dianggap sama ternyata berbeda.

Ehm…seharusnya dalam menulis buku-buku non fiksi, buku-buku sejarah terutama buku pelajaran yang dibaca oleh anak-anak se Indonesia (apalagi sudah masuk BSE) didahului dengan mencari dan mengumpulkan data dengan lengkap dan valid dulu sebelum menuliskannya dalam sebuah buku, kemudian di edit dengan matang. Sehingga anak-nak tidak salah pemahaman, guru-guru tak salah mengajarkan, finalnya tidak ada kesalahan-kesalahan sejarah.

Selasa, 25 Januari 2011

Shalat, Penjual Ikan, dan Penebang Tebu


Foto ini saya ambil saat berhenti di lampu merah. Perempatan lampu merah yang berjarak sekitar 200 meter dari SD tempat saya mengajar. Hampir setiap hari, ketika saya pulang sekitar pukul 12.20 melewati perempatan dan berhenti karena interupsi lampu merah, saya selalu melihatnya. Sepeda motor dengan kayu-kayu palang yang dimodifikasi sedemikian rupa, tempat bapak itu menata ikan-ikan hias dagangannya. Yang membuat saya tertarik dan bertasbih ketika melihatnya adalah tulisan sederhana yang dilapis plastik “MASIH SHOLAT” bertengger menghiasi, terpampang disela-sela puluhan plastik ikan hias.


2 menit berhenti di lampu merah, cukup lah bagi saya membaca suasana. Bapak penjual itu memang tak disana. Beliau meninggalkan dagangannya begitu saja, dengan selembar pesan sederhana “MASIH SHOLAT”. Saya perkirakan bapak itu sedang sholat di masjid depan terminal, sebelah kantor Telkom, sekitar 150 meter dari tempat dia memarkir ‘dagangannya’. Tanpa takut tiada seorang yang akan usil mengambil dagangannya. Pernah juga sesekali melihat ada calon pembeli yang melihat-lihat sambil menunggu si bapak ikan kembali. Saya duga dia memarkirnya disitu karena banyak orang lalu lalang di trotoar dekatnya, sehingga lebih mudah menawarkan dagangan. Kenapa tak di depan masjid, karena tak ada pohon rindang di masjid itu. Lebih dari itu berjualan di depan masjid, kan dilarang.


Setiap lewat situ, dan melihatnya. Membuat saya ingat kejadian yang juga menakjubkan. Saat itu pada bulan Ramadhan, di siang dhuhur yang terik. Ketika saya sambil berusaha menahan kantuk, mengendarai sepeda motor menuju ke SMA (tempat saya memberi mentoring ke adek2 binaan). Tidak kencang saya melarikan sepeda motor, menyusuri jalan antar kecamatan menuju ibukota kabupaten, yang di kanan kirinya adalah ladang tebu. Maklum, juga sedang musim giling gula, walaupun puasa namun aktivitas memenuhi stock tebu ke Pabrik Gula harus tetap jalan.

Sampai pada akhirnya, ekor mata saya melihat sekitar 20 meter di depan, arah pukul 10, saya melihat seorang bapak dengan kulitnya yang menghitam terbakar panas matahari, sedang rukuk shalat . . . di bawah pohon rindang, di tepi ladang, beralas daun-daun ketela pohon yang telah ditata sedemikian rupa. Tanpa sadar kecepatan sepeda saya berkurang, ingin mengamati lebih lama. Sementara sekitar 10 meter di belakang bapak penebang tebu yang shalat tadi, tampak beberapa penebang lain yang tengah duduk-duduk santai. Menikmati istirahatnya, menyantap makan siang dengan lahapnya. Beberapa diantara mereka mengepulkan asap rokok (nah looo bukannya siang Ramadhan). Sayang sekali saya lupa tak mengabadikannya.


Bapak penjual ikan dan Bapak Penebang tebu tadi setidaknya sangatlah luar biasa dimata saya. Orang-orang yang istiqomah ditengah deru hidup yang membadai. Himpitan ekonomi yang menyesakkan dada. Dalam kondisi berat, godaan, lingkungan yang lebih sering tidak pro dengan mereka tak membuat mereka lupa. Berhenti sejenak untuk menemui-Nya. Tanpa khawatir ikan-ikan itu diambil orang yang usil. Dengan bersahaja tetap menemui-Nya, yaa hanya beralas tanah keras ladang tebu yang tertutup daun seadanya, juga dengan godaan luar biasa.


Yaaa setiap melihatnya, mengingatnya, selalu menjadi buah pelajaran bagi saya dan semoga bagi kita semua. Pelajaran yang luas tiada bertepi, tak sekedar untuk selalu menepati waktu bertemu dengan-Nya. Namun juga tentang hidup dan kehidupan itu sendiri. Kehidupan yang saat ini tengah kita jalani. Dengan macam alur dan skenario yang tiada sama.


Setiap melihatnya, dan mengingatnya . . . lirih sekali saya berkata . . . mudah-mudah keberkahan Allah atas setiap risky dari usaha kerja mereka, usaha dan kerja berat yang tak memalingkan dari panggilan-Nya. Amin.

Sabtu, 08 Januari 2011

Masjid Kenangan

Sudah sekitar 4 tahun secara rutin, kembali saya bisa mengunjunginya. Setelah 3 tahun tak pernah ke tempat ini, ternyata masih sama. Bentuknya tak berubah, masih tampak gagah. Hanya saja ada penambahan di sana-sini, yang membuat lebih bagus, bersih, indah, dan nyaman sebagai tempat suci. Setiap duduk di serambinya, lalu membiarkan dua mataku menyapu sekitarnya, selalu saja ada kenangan manis bersama teman-teman dulu di tempat ini. Tempat yang tak sekedar untuk rehat dari kepenatan soal trigonometri atau apalah saya lupa namanya.



Masih sama, letak stirofom yang difungsikan sebagai mading juga masih pada tempat yang sama. Hanya saja isinya tak terlalu kreatif, sekreatif teman-teman yang dulu menjadi redaksinya. Sering, dulu . . . setiap kamis sore, saya melihat beberapa ikhwan dan akhwat sibuk memasang mading,,,deadline. Agar bisa tampil manis pada Jumat pagi. Mereka begitu kreatif menawarkan tulisan yang cerdas, lucu tapiii juga syar’i. Sampai menjelang maghrib tampaknya mereka baru usai, demi dakwah sekolah . . .insya Allah.



Ada juga yang masih sama, ruangan kecil yang menempel di tempat ini. Tak luas, tampak bersahaja. Dengan ukuran yang hanya sekitar 2,5 x 1,5 meter, ruang ini lebih tampak seperti gudang. Namun, ketika masuk ke dalamnya lantai berkarpet dan rak-rak buku tampak berderet. Saat itu saya, teman-teman, dan semua menyebutnya perpustakaan tempat yang nyaman itu. Karena kecil saja, tentunya yang bisa masuk ke dalamnya hanya beberapa saja. Dan pastinya bergantian hari antara ikhwan dan akhwatnya. Dulu saya sering meminjam buku-buku yang menjadi koleksinya. Novel-novel Serial “Aisyah Putri” nya Asma Nadia sampai buku-buku foenomenal Harun Yahya.



Bagi saya (dan mungkin teman-teman lainnya) tempat ini memang luar biasa, letaknya cukup strategis di tengah-tengah kompleks para pelajar menuntut ilmu. Selalu saja “adem” bila berada di tempat ini. Mungkin berawal dari tempat ini juga saya bisa belajar tentang makna hidup dengan lebih baik, berawal dari sini saya mengenal teman, saudara-saudara yang mengagumkan semangatnya. Aaahhhh....mengingat semua itu membuat rindu untuk kembali bersama-sama.


Tempat yang luar biasa itu, yang menumbuhkan semangat itu, yang dulu jika saya ke situ selalu bertemu dengan saudara-saudara yang menyejukkan kalbu itu, adalah Masjid Al Hakim. Masjid yang saat ini masih berdiri dengan anggun di SMA tempat saya menimba ilmu.
Sekarang, setiap pekan sekali saya punya kesempatan untuk kembali mengujunginya. Bertemu dengan adek-adek SMA yang juga mempunyai semangat luar biasa. Dalam sebuah kumpulan kami bertemu, mentarbiyah-tertarbiyah, saling mengisi, saling menularkan semangat.... Dan setiap hal tersebut berulang, berulang juga saya bersyukur, bersyukur pernah berada disini, bersyukur pernah seperti mereka, bersyukur pernah menjadi bagian masjid ini . . . .

Selasa, 04 Januari 2011

Cerita Boneka Pelepah Pisang

Boneka itu memang sederhana sekali, saya dan teman-teman kecil saya sangat gemar membuatnya. Dimulai dengan berburu pelepah daun pisang di kebun, riuh berebut pelepah mana yang akan diambil. Memilih pelepah yang bagus, dengan warna hijau mulus, dengan besaran yang tanggung, dan daunnya pun yang bagus, lembut, tidak kerak jika dibentuk. Kami tidak peduli getah pisang mengenai baju, urusan nanti sore dimarahi ibu-ibu kami karena akan susah mencucinya . . . tak kami pikirkan. Menit berikutnya semua dalam diamnya lisan, tampak serius bekerja. Memainkan pisau yang berhasil “dicuri” dari dapur ibu. Kadang muncul helaan nafas, kadang seruan-seruan kecil tanda gembira atau kecewa akan hasta karya. Pun saya, mulai memisahkan daun dari pelepahnya, hati-hati sekali demi hasil yang sempurna. Memotong pelepah dengan sistematis dengan ukuran 3 jengkal tangan masa kanak saya. Memastikan pelepah itu lurus dan sama besar ujung-pangkalnya. Lalu melubangi salah satu ujung atasnya.


Urusan badan boneka selesai. Berganti ke tahap berikutnya, meraih daun yang telah kami pisahkan sebelumnya. Seperti berlomba, tangan-tangan kecil dengan bantuan ujung lidi mensuwir daun pisang, hingga seperti mie, kecil-kecil agar rapi. Kadang diringi lirikan ke tangan teman yang juga sedang bekerja. Was-was akan ketinggalan, was-was hasilnya tak sebaik mereka. Ingin cepat selesai, namun ingin juga sempurna, sehingga harus hati-hati agar pangkal daun tak terputus. Karena akan fatal. Selesai satu, disusul dengan yang lainnya. Kini tampaklah daun dengan juntaian kecil-kecil yang memanjang.


Dengan hati-hati lagi meletakkan di tanah yang bersih. Lalu menggulungnya seperi menggulung kertas. Memastikan rapi. Tangan kiri memegang badan ‘pelepah’ boneka, sementara tangan kanan erat memegang sembari memasukkan pada salah satu ujung atas pelepah yang telah dilubangi. Lalu menguncinya dengan menyematkan 2 sapu lidi agar tidak terlepas. Jadilah boneka. Tapi tak berhenti disitu, saya dan teman-teman kini berlomba mempercantik boneka, dengan memberikan nama yang paling bagus, memilin bahkan menghias rambut dengan bunga-bunga rumput. Boneka itu kami bawa kemana-mana, kami membuat pentas sandiwara dengan boneka. Larut di dalamnya, seperti lupa waktu. Akan bubar setelah salah satu dari ibu kami, berteriak memanggil menyuruh untuk mandi. Berlarian sambil berjanji besok bertemu lagi, membawa boneka lagi . . . boneka yang dibuat hari ini. Boneka pelepah itu memang akan dibuang setelah badannya menguning dan rambutnya mengering.



Itulah alinea-alinea yang berisi sedikit dari begitu banyaknya kenangan masa kecil. Pernah saya menceritakannya kepada murid-murid saya, saat mereka telah tampak jengah mendengar saya bercerita tentang sejarah. Apa yang terjadi setelah usai bercerita? Wajah-wajah takjub, seolah tak percaya kalau ada boneka dari pelepah pisang, yang tampaknya begitu mudah dibuat dan menyenangkan. Mereka juga bengong, ketika saya mendeskripsikan mainan senapan dari pelepah pisang.


Anak jaman sekarang memang luar biasa, mainannya adalah mainan produksi teknologi canggih, mainannya adalah aplikasi yang bertengger di HP-HP mereka. Jangankan boneka atau mainan lain dari pelepah pisang, bahkan ada di antara mereka yang tidak tahu seperti apa pelepah daun pisang^^ (Seriuuussss . . . murid-murid saya tinggal di lingkungan ibukota kecamatan, minim sawah dan kebun. Daerah pertokoan yang lumayan padat).


Beda sekali dengan kenangan masa kecil yang luar biasa. Penuh dengan kreativitas dengan benda seadanya, bermain secara massal, mengenal satu sama lain dengan begitu akrabnya. Bahkan dari kampung sebelah. Sehingga tidak menjadi pribadi-pribadi apatis dan egois. Zaman memang telah banyak berubah, pergeseran ini sudah dipastikan berpengaruh besar pada perkembangan apapun, termasuk perkembangan generasi masa depan. Harus ada cara agar mereka tak menjadi generasi yang pragmatis. Benar apa yang dikatakan oleh Ali Bin Abi Thalib “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, bukan sesuai dengan zamanmu”. Tentu, agar mereka tetap menjadi generasi yang diharapkan.