“Douwes Dekker adalah mantan residen Lebak, ia menulis buku Max Havelaar dengan nama samaran Multatuli. Isi buku menceritakan penderitaan rakyat selama 31 tahun sewaktu dilaksanakan tanam paksa. Buku itu menggegerkan warga Belanda, akhirnya tanam paksa dibubarkan. Douwes Dekker juga ikut mendirikan Indische Partij”
Informasi yang didapatkan ketika membaca kalimat-kalimat kutipan di atas, secara tersirat ataupun tersurat dapat disimpulkan bahwa Douwes Dekker penulis buku Max Havelaar dan Douwes Dekker pendiri Indische Partij adalah orang yang sama. Padahal, saya masih mengingat dengan baik kata-kata guru sejarah SD saya, bahwa keduanya adalah orang yang berbeda. Douwes Dekker penulis Max Havelaar berbeda dengan Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi) si pendiri Indische Partij. Nah loo mana nih yang benar . . . . . selama ini saya meyakini keduanya dua orang yang berbeda.
Pada akhirnya saya nyari-nyari informasi di Internet, bertemulah saya dengan informasi yang super jelas di Wikipedia. Dan keduanya adalah dua orang yang berbeda. Tak sama, seperti yang di infokan di buku IPS Siswa. Berikut adalah penjelasannya . . . . . . .
Douwes Dekker adalah nama keluarga (surname) dari Belanda, yang merupakan gabungan dari Klan Douwes dan Dekker. Dua dari anggota klan ini yang menjadi tokoh zaman penjajahan dan pergerakan di Indonesia adalah Eduard Douwes Dekker (Si Multatuli) dan Ernest Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi).
Eduard Douwes Dekker, yang mempunyai nama pena Multatuli lahir di Amsterdam, 2 Maret 1820. Dia adalah orang Belanda yang menentang keras Sistem Tanam Paksa (Culture Stelsel), Douwes Dekker menceritakan penderitaan rakyat pribumi karena tanam paksa dalam bukunya yang berjudul Max Havelaar. Eduard Douwes Dekker adalah saudara dari kakek Ernest Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi)
Ernest Douwes Dekker
Sementara, Ernest yang mempunyai nama lengkap Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (EFE Douwes Dekker) atau Danudirja Setiabudi lahir di Pasuruan 8 Oktober 1879. Ia adalah seorang peletak dasar nasionalisme. Ibunya adalah seorang Indo, karena neneknya adalah orang Jawa yang menikah pria Belanda. Sehingga darah pribumi mengalir di tubuhnya. Mungkin sebab itu juga, dia lebih suka disebut sebagai orang Indonesia daripada orang Belanda. Pada awal pergerakan Nasional bersama Ki Hajar Dewantoro dan dr. Cipto Mangunkusumo yang tergabung dalam Tiga Serangkai, Danudirja Setiabudi mendirikan organisasi Indische Partij. Bersama Ki Hajar Dewantara pula ia ikut dalam dunia pendidikan. Dan mendirikan sekolah “Ksatrian Instituut” di Bandung. Danudirja meninggal dan dimakamkan di Bandung tanggal 28 Agustus 1950. Dan mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional.
Nah dari uraian informasi yang sudah saya rangkum di atas, berarti pernyataan dalam buku yang saya baca tidak benar. Dua Douwes Dekker yang dianggap sama ternyata berbeda.
Ehm…seharusnya dalam menulis buku-buku non fiksi, buku-buku sejarah terutama buku pelajaran yang dibaca oleh anak-anak se Indonesia (apalagi sudah masuk BSE) didahului dengan mencari dan mengumpulkan data dengan lengkap dan valid dulu sebelum menuliskannya dalam sebuah buku, kemudian di edit dengan matang. Sehingga anak-nak tidak salah pemahaman, guru-guru tak salah mengajarkan, finalnya tidak ada kesalahan-kesalahan sejarah.