Pages

Senin, 23 Mei 2011

Bimbang Penghujung Tahun Ajaran

Tak terasa tahun ajaran ini sudah hampir sampai dipenghujungnya, kemarin bapak kepala sekolah menyampaikan kalau Ulangan Akhir Semester (UAS) II akan dilaksanakan dua minggu lagi. Ah kesibukan sebagai guru akan bertambah, berbagai agenda rutin akan menunggu. Namun bukan itu yang membuat saya bimbang, toh sudah merupakan tugas rutin yang biasa dilakukan dan memang menyenangkan. Hanya ada satu yang berat dan mampir dipikiran lama-lama. Yaitu perihal menentukan kenaikan kelas.

Kenaikan kelas??? Mungkin bagi yang tidak berprofesi sebagai guru, terutama guru SD. Atau minimal yang berkecimpung di dunia pendidikan. Memandang, “apa sih susahnya menaikkelaskan anak???”. Ehm. . . memang tak susah, sama sekali tak susah. Tak susah bagi siswa dengan prestasi menengah ke atas, dengan nilai cemerlang di atas batas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal, KKM setiap sekolah ini beda. Misalnya SD saya menetapkan KKM untuk pelajaran Matematika 61, maka syarat seorang siswa bisa naik kelas dan dinyatakan tuntas belajar matematika jika nilai matematikanya minimal 61). Masalahnya bagaimana dengan yang nilainya banyak yang di bawah KKM??? Di kelas lambat mengikuti pelajaran, punya masalah belajar yang serius . . . . inilah susahnya.

Teringat kejadian setahun kemarin. Nilai-nilai sudah masuk ke saya sebagai wali kelas 4. Mulai saya olah satu per satu, berulang untuk 42 siswa di kelas saya. Dengan bismillah, berharap akan mengusir rasa bimbang yang mulai menghantui. Ada beberapa siswa yang nilainya tak memuaskan. Hasil musyawarah dengan dewan guru yang juga mengajar di kelas 4 dan kepala sekolah memutuskan ada 2 siswa yang tidak dinaikkelaskan artinya harus mengulang di kelas 4, satu tahun lagi. Pun 2 nama sudah saya simpan dengan persetujuan teman-teman dan kepala sekolah. Dengan pertimbangan, nilai yang tidak dimencukupi di beberapa pelajaran, sikap di kelas yang jauh dari kata manis. Rapot dua nama itu saya sisihkan. Saya masih ragu, berat rasanya . . . . hati dan pikiran saya bergelut dengan dimensi-dimensi segala kemungkinan. Efeknya saya banyak tertunduk di ujung sajadah usai shalat wajib dan shalat malam. Seberat itukah??? Kenapa seberat itu???

Karena saya harus berhadapan dengan wali murid. Pernahkah terbayangkan, menyerahkan buku laporan nilai ke orang tua murid sambil mengatakan “Maaf bapak/ibu anak anda harus tinggal kelas di kelas 4” lalu memandang ekspresi orang tua yang menjadi kaku, terperanjat, tak percaya, lalu sedih, penuh tanda tanya . . . menatap guru anaknya yang begitu tega mengeksekusi anaknya tidak kata TIDAK NAIK KELAS . . . dan ternyata memang tak berhenti disitu saja. Tahun lalu, siang harinya saya di telepon oleh ibu murid yang tida naik tadi. Nangis-nangis, memohon-mohon, mengungkapkan keperihan hatinya, bagaimana caranya agar anaknya menjadi bisa naik kelas, cerita kalau ayahnya sampai langsung jatuh sakit. Hati ibu mana yang tak perih, inilah yang membuat saya juga berdarah-darah (hiperbola). Lalu malam harinya, ketika saya bersiap untuk bergeagas ke stasiun. Ada tamu yang tak diundang, sepasang orang tua usia 30 an. Tentu saja saya mengenalnya, orang tua dari murid yang tak naik kelas lainnya. Acara pokok langsung dimulai, mereka bertanya kenapa anaknya tak bisa naik kelas, saya merasakan emosi disetiap perkataan sang ibu yang bergetar menahan tangis. Demi melihat itu, hati saya jadi sesak luar biasa. Perlahan namun pasti sayapun menjelaskan kondisi. Juga ada emosi, bukan emosi kemarahan, bukan . . . tapi apalah yang jelas saya jadi merasa bersalah telah membuat 2 keluarga sedih. Atau mungkin ada yang membenci saya (kalau ini suudzon).

Dari telepon dan pertemuan malam itu, pada intinya jawaban saya terhadap pertanyaan orang tua atau istilah lebih ekstrim “protes” mereka sama. Saya berusaha bijaksana dan tegar menjawabnya. Bahwa keputusan ada atau tidak, siapa yang tidak naik kelas adalah keputusan bersama yang telah dimusyawarahkan, setiap guru yang mengajar telah memberikan masukan-masukan yang menentukan. Pun saya menjelaskan kriteria kenaikan kelas yang ternyata belum betul-betul wali murid pahami. Di ujung penjelasan saya, agar mereka bisa menerima dan yakin dengan keputusan sekolah saya ucapkan sepatah kalimat, yang membuat saya yakin dengan semua ini. Kalimat yang diucapkan oleh Bapak kelapa Sekolah yang bijaksana, is . . .”Bapak Ibu, ijinkan kami membimbing anak bapak/ibu setahun lagi. Insya Allah akan lebih baik lagi”. Dan kalau tidak berkenan dengan penjelasannya saya, saat itu saya mempersilahkan untuk konsultasi kepada atasan saya. Alhamdulillah dengan proses yang ada, akhirnya para wali murid menerima. Walaupun ibu yang telepon hampir setiap hari telepon saya, curhat, nangis-nangis, minta anaknya dinaikkan, berapapun biayanya. Waduh!!!. Proses yang dilalui, menyisakan kata-kata bijak dari mereka “Iya saya menerima, kami titipkan anak saya kembali, mohon bimbingannya agar menjadi lebih baik”. Dengan tegas saya berkata, InsyaAllah, kita bekerja sama bapak/ibu, untuk perkembangan anak yang lebih baik. Alhamdulillah dua anak “Bengal” yang tertinggal, kini kondisi jauh lebih baik, baik sekali malah.

Yah keputusan untuk tidak menaikkelaskan anak kadang dianggap berlebihan. Apa sih susahnya bagi seorang guru untuk menambah sedikit saja nilai anak, toh nilai tidak beli?? Inilah harga sebuah keseriusan dalam bekerja, mencoba menyesuaikan dengan pakem yang telah ditentukan tanpa mengabaikan nilai moral. Pertimbangan lainnya, pendidikan merupakan sebagai proses berkelanjutan. Masa peka anak yang berbeda satu sama lain, menyebabkan dasar keilmuan di tingkat awal yang tak matang akan mempengaruhi tingkat berikutnya.

Sebenarnya itulah yang selalu membuat saya nervous ketika akan kenaikan kelas seperti ini. Tapi insya Allah dengan bismillah, menuruti jalur-jalur yang benar, semua akan berakhir indah. Bahwa setiap hal akan memberikan pelajaran dan hikmah terbaik jika kita mau bersabar . . .

Rabu, 04 Mei 2011

Andaikan Tahu Kedatangannya . . . .

Usai maghrib, saya melihat Handpone yang saya charge. Belum penuh, tapi akhirnya saya memutuskan untuk mengaktifkan. Kalau-kalau ada SMS penting masuk. Benar saja, begitu ON, alert tanda SMS berbunyi. Dari Bu Sih, salah satu rekan di kantor, singkat saja SMSnya. “Mbak, bapaknya Bu Sum meninggal”. Innalillahi . . . saya terkejut mendengarnya, bapak Bu Sum memang sudah sepuh, usianya sekitar 81 tahun. Tinggal di Kabupaten Jember, sekitar 10 jam dari Magetan.


Saya ikut berduka, terlebih membayangkan betapa berat apa yang dirasakan teman sekantor saya itu. Bapaknya meninggal selasa sore, sementara selasa dini hari menjelang subuh Bu Sum baru saja sampai di Magetan. Setelah semalaman menempuh perjalanan panjang dari Jember. Beliau berangkat ke Jember Minggu pagi, menunjukkan bakti pada orang tuanya, dengan membawa sejumlah uang untuk pengobatan bapaknya, ijin tidak ngantor Senin. Setelah kondisi bapaknya lebih “aman” dan karena tanggung jawab pekerjaan hari Senin malam kembali ke Magetan. Seminggu sebelumnya, Bu Sum juga kesana. Dengan tergesa setelah adiknya menelepon kalau bapaknya masuk rumah sakit. Selasa pagi, saya bersama beberapa teman mendengarkan ceritanya tentang kondisi sang bapak tercinta.


Ah andaikan Bu Sum tahu, kalau bapaknya akan meninggal Selasa pagi . . . pasti dia tak akan tergesa balik ke Magetan. Justru akan berada di dekatnya, merawatnya sepenuh hati, tiada lepas untuk perpisahan abadi . . . itulah kematian. Lelah tubuh terguncang 10 jam dalam bus, belum jua reda. Hilang dan menguap, karena akan kembali mengukur jalan yang sama. Saya jadi teringat kejadian Desember lalu, saat nenek saya tercinta juga dipanggil-Nya. Pukul 07.00 pagi saat saya mau berangkat kerja, nenek saya yang baru pulang opname di rumah sakit disuapi oleh sepupu saya di kamar. Tampak baik-baik saja. Sempat saya mengelap bibirnya dengan tisyu. Namun 15 menit setelah saya tiba di kantor, bapak menelepon kalau nenek telah tiada. Sempat ada sesal, kenapa saya tergesa berangkat. Sempat ada sesal, karena saya tak menunggui beliau dalam perpisahan abadi itu. Syukurlah ada sepupu saya dan suaminya yang dokter paham dengan kondisinya yang mulai memburuk, sehingga dengan utuh mereka sempurna menuntun nenek saya menghadapi waktu akhirnya. Yah, Itulah kematian. Siapa yang bisa memprediksikan kedatangannya . . . .

Semoga kematian akan menjadi pelajaran yang berharga bagi kita dalam menjalani hidup ini. Pesan Rosulullah SAW “Cukuplah mati itu akan menjadi pelajaran bagimu”.



Senin, 02 Mei 2011

Dari Catatan Hati Seorang Istri

Hujan dari tadi siang belum juga reda, sudah tidak deras seperti siang tadi. Petir dan guruh juga sudah tidak menakutkan. Namun hujan yang tak deras juga tak gerimis, tampaknya akan awet hingga tengah malam. Bisa jadi bisa sampai esok dini hari. Usai saya membaca e-book “Catatan Hati Seorang Istri” karya mbak Asma Nadia, yang sudah hampir seminggu berada di laptop saya. Setiap kisah di buku itu membuat hati saya jadi melankolis. Didukung hujan yang menampilkan suasana syahdu. Hati saya sebagai istri sebagai perempuan, seperti diketuk-ketuk seperti ikut merasakan setiap catatan yang dibuat mbak Asma dari kisah-kisah istri yang menginspirasinya.

Mendalami hikmah cerita, saya jadi rindu suami, saya jadi merasa kalau sangat mencintainya. Saya jadi sangat bersyukur, namun saya juga takut mengalami seperti beberapa kisah yang ditulis di buku itu. Saya tak bisa menguraikan satu per satu isi ceritanya. Yang jelas menampilkan sisi-sisi lain dalam kehidupan berumah tangga. Sisi lain sosok laki-laki, sudut hati seorang istri, yang kadang bisa tersenyum walau sedang perih hatinya. Menangis haru saat bahagia. Salah satu kesimpulan setelah membaca kisah-kisah CHSI ini adalah ternyata membalut luka itu tak mudah, apalagi luka hati yang sudah terbalut oleh cinta. Saya yakin para istri yang merasai ini akan lirih penuh harap dan takut berdoa agar Allah senantiasa menjaga rumah tangganya.

Kesimpulan lain yang saya dapatkan setelah mendalami kisah-kisah dalam CHSI, perempuan (istri) adalah sosok yang kadang dianggap lemah namun sesungguhnya ada energi kekuatan besar yang tak dimiliki oleh para suami. Kalau saya hiperbolakan, hatinya kuat lebih kuat daripada baja.

Teringat lagi saya dengan 6 halaman SMS dari murobbi saat hari kartini kemarin, “Di balik pahlawan besar ada perempuan agung. Energi sang pahlawan salah satunya dari perempuan. Perempuan adalah penyangga spiritual, sandaran emosional; disana ada ketenangan dan gairah, kenyamanan dan keberanian, juga kekuatan. Laki-laki akan menumpahkan energinya diluar dan mengumpulkannya dari rumah. Kekuatan besar perempuan untuk mendampingi para pahlawan adalah kelembutan, kesetiaan, cinta dan kasih sayang. Perempuan adalah padang jiwa yang luas dan nyaman, tempat laki-laki menuangkan sisi kepolosan dan kekanakan, tempat mereka bermain dengan lugu dan riang, saat melepaskan kelemahan dengan aman, saat merasa bukan siapa-siapa, saat mereka menjadi bocah besar. Disanalah sang pahlawan menyerap energi buat jiwanya. Kesederhanaan perempuan adalah keagungan, kelembutan, kesetiaan, cinta dan kasih saying, itulah keajaiban perempuan” saya senang sekali membacanya, dan berharap semoga demikian juga saya bagi suami saya. Pada saat itu saya forward SMS tersebut ke sahabat saya. Cepat sekali dia membalas “good. . . good”.

Catatan hati seorang istri, saya yakin setiap istri mempunyainya . . . mau manis, pahit, kecewa, bahagia, sedih atau apapun. Insya Allah jika disikapi dengan syukur dan sabar, usaha dan doa, niat terbaik untuk menjadi perhiasan dunia . . . pada akhirnya akan menjadi pondasi untuk mempunyai rumah di surga. Bismillah . . .

Selamat Ujian Nak . . .

Sabtu pagi, jam dinding di kelas 6 sekolah kami menunjukkan pukul 07.30, sudah tidak terlalu pagi. Namun hujan yang tak deras dini hari tadi masih menyisakan bekasnya, yang membuat pagi itu lebih dingin dari biasanya. Suasananya jadi syahdu dan melankolis. Pas banget dengan suasana yang terbentuk di ruang kelas 6.

Tak seperti hari-hari biasanya, namun 2, 3 tahun yang lalu dan tahun-tahun sebelumnya saya pernah merasakannya. Pagi itu saya dan semua rekan guru pengajar di SD kami juga bapak Kepala Sekolah berkumpul di kelas 6. Kami duduk di kursi-kursi yang ditata rapi di depan kelas, di bawah white board. Berhadapan dengan 42 siswa kelas 6, yang duduk sangat rapi dan begitu tenang, tak seperti biasanya. Bapak kepala sekolah tengah menyampaikan wejangannya untuk anak didik kami yang mulai Senin ini dan pekan depan akan melaksanakan ujian sekolah juga ujian nasional.

Satu per satu saya memandang wajah yang tentu saja sangat familiar bagi saya itu. Tiga tahun mengajar mereka, di kelas 4, 5, dan 6 tentunya banyak sekali kenangan, suka duka yang tercipta. Saya yakin itu pula yang dialami oleh rekan-rekan saya. Sehari sebelumnya saya masih memberikan pelajaran PKn untuk mereka terakhir kali. Persiapan terakhir sebelum UAS, dan sudah menjadi kebiasaan bagi saya untuk mengatakan kepada siswa kelas 6 bahwa “hari ini terakhir diajar bu yuli lho . . . saya minta maaf yaaa jika selama ini dalam mengajar atau membina kalian ada kesalahan” mereka tersenyum, ada keluh . . . dan bersamaan mereka bergumam . . . “kami juga bu . . .” aih . . . akhirnya moment ngajar terakhir itu begitu menyenangkan, penuh semangat.

Usai kepala sekolah menyampaikan pesan-pesannya, giliran wali kelas 6 bu Dyah yang unjuk bicara, tak banyak, singkat saja . . . mungkin karena sudah begitu banyak pengarahan teknis, pesan moral yang disampaikan hari-hari sebelumnya. Hampir setiap hari. Setelah Bu Dyah memberikan intruksi, 42 anak yang hari itu tampak manis-manis bersiap, beringsut dari tempat duduknya, memberi ruang pada teman-temannya, mulai berdiri, berbaris tertib menuju ke kami. Saya dan guru yang lain . . . berdiri juga di depan kelas.

Satu per satu bersalaman, lirih sekali setiap mereka berkata “pak/bu minta maaf, dan mohon doa restunya” terus-menerus, satu-satu dari mereka berkata, mencoba menahan air mata dan getar suara yang semakin tampak nyata. Pun saya dan rekan-rekan guru wanita, demi melihat mimik wajah mereka yang mulai merah menahan air mata, tak bisa dipungkiri air mata juga mulai merembes keluar. Saya semakin trenyuh ketika murid saya yang bernama Rohman menyalami saya, suaranya bergetar dan air muta sudah keluar membasahi pipinya. Rohman, anak laki-laki usia 12 tahun, yang sampai sekarang tak tahu wajah kedua orang tuanya. Dalam hati saya berdoa “mudah-mudah engkau kuat nak, mendapatkan cinta lain, yang tak kau dapatkan dari ibu ayahmu”.

Prosesi berlanjut hingga penghujungnya. Kini di depan kami, kembali 42 wajah terisak-isak. Mulai dari siswa yang unggul hingga siswa yang terkenal nakal dan sering membuat jengkel guru-gurunya. Entah apa yang mereka rasakan, rasa sesak ingat segala perjuangan, ingat kesalahan, kebersamaan, rasa haru hendak ujian… yang jelas mereka menangis sesenggukan. Acara diakhiri doa yang dipimpin oleh Bapak guru agama. Kami mengamini setiap doa yang dilantunkan.

Yaa Rabb mudahkanlah, lancarkanlah, siswa-siswa kami mengerjakan menghadapi Ujian Sekolah dan Ujian Nasional. Hindarkanlah mereka dari segala fitnah dan kesulitan . . . .

Begitulah, seremoni kecil pagi itu, acara pamitan . . . setiap tahun kami lakukan, guna memberikan spirit bagi anak didik kami, anak-anak yang 6 tahun telah menyita perhatian juga menjadi tanggung jawab kami. Anak-anak yang esok akan selalu mengenang kami sebagai guru-guru mereka, yang mengajar banyak hal juga makna kehidupan. Insya Allah.