Pages

Rabu, 28 September 2011

Cuci Mata di Pameran Pelayanan Publik Jatim 2011




Sejak sama-sama menikah, saya dan kakak perempuan saya satu-satunya jadi jarang jalan-jalan berdua. Usia kami yang hanya selisih 18 bulan, membuat kami (dimasa bujangnya) suka jalan-jalan berdua. Ke mana saja, tapi ke mall untuk hunting baju bukan hobby kami. Kami lebih suka pergi ke toko buku, ke Book Fair, atau ke Pameran/expo pembangunan yang diadakan pemerintah.


Seperti Rabu sore ini, saat suami saya sedang di Bandung dan kakak ipar saya juga ada urusan di luar sampai malam. Dan saya juga mbak saya, sedang tak ada kerjaan berarti . . . Mbak saya ngajak jalan-jalan ke Madiun. Kebetulan kami sama-sama tahu kalau tanggal 28 September - 1 Oktober ada Pameran di Alon-alon kota Madiun. Tampak beberapa hari sebelumnya 2 tenda besar nan megah sudah mulai didirikan di Alon-alon sebelah utara.


Berdua kami menyusuri tenda yang sangat besar, ada 2 tenda yang cukup besar. Pameran kali ini adalah "Pameran Pelayanan Publik dan Budaya Kerja Prov. Jatim 2011". Karena skalanya provinsi, stand-stand diisi oleh lembaga-lembaga pelayanan publik kabupaten/kota seluruh Jawa Timur. Ada dari sektor kesehatan dan rumah sakit, sektor pertanian, pendidikan, Dinas pendapatan daerah, dinas pelayanan terpadu, dari PDAM, dari dinas perkoperasian, PTPN dll. Hampir stand setiap dinas dari daerah menampilkan produk-produk khas daerahnya. Seperti Batik, makanan khas, kerajinan, juga hasil pengolahan produk.


Saya sangat senang melihat stand yang menampilkan souvenir batik khas dari setiap kabupaten/kota di Jawa Timur. Membandingkan satu sama lain, berbagai corak dan warna Semua indah dan halus.



Souvenir Batik dari berbagai daerah di Jawa Timur

Ada juga barang-barang kerajinan, salah satunya kerajinan anyaman dari Kabupaten Magetan (Ds. Ringinagung) dan kerajinan genteng yang terkenal di Jatim yaitu Genteng dari Kab. Tulungagung.



Kerajinan Genteng dan Anyaman

Dari dinas pertanian Propinsi Jawa Timur pun tak mau ketinggalan, menampilkan beberapa hasil pertanian dan perkebunan terbaik, seperti apel Manalagi, alpukat yang mengkilat, mangga, bawang merah, padi dsb.



Beberapa tentang keunggulan pelayanan publik yang ditampilkan setiap stan. Mudah-mudahan dengan adanya pameran pelayanan publik ini, tidak sekedar pameran belaka namun memberikan motivasi kepada dinas terkait untuk meningkatkan pelayanan publik, juga mempunyai budaya kerja yang bagus . . .





Kamis, 22 September 2011

Panen Raya Kacang Tanah

Sejak sehari setelah lebaran kemarin, sampai pekan-pekan ini desa saya musim panen kacang tanah. Secara bergantian setiap harinya para pemilik sawah yang pada saat itu hampir 90 % menanam kacang tanah menggelar masa panen. Di RT saya dan sekitar, bahkan sehari bisa lebih dari 3 petani yang memanen kacang tanahnya. Mungkin jika tidak harus berebut (ngantri) orang yang membantu bisa jadi panen kacang akan dilaksanakan serempak. Bahkan beberapa petani mengeluhkan, susahnya mencari orang untuk bisa membantu memanen kacang tanahnya.



Alhamdulillah panen raya musim ini nampaknya sukses besar, tak seperti musim sebelumnya. Para petani rugi besar karena hasilnya sangat buruk dari sekian hektar sawah yang ditanami yang berbuah kurang dari 30 %. Adapula tetangga yang seluruh pohon kacang di sawahnya tak menghasilkan sama sekali. Hanya akar-akar dengan calon-calon kacang yang tak mau berkembang, dan hampir mengering. Ufh . . . tergambar sudah modal, tenaga, pikiran, tergadaikan . . . Harapan besar melihat kacang yang dinantikan berganti dengan kesedihan, menelan kekecewaan. Pun apalah yang bisa dilakukan oleh mereka . . . bersabar. Bulik yang rumahnya dekat saya pun, cerita biasanya kalau panen menghasilkan lebih dari 10 karung kacang, saat musim gagal itu hanya 3 karung, itu pun kecil-kecil. Sementara itu Pakdhe, yang sejak muda usahanya jual beli kacang tanah, yang biasanya dapat omzet hampir 20 juta. Harus merugi karena sawahnya pun tak mau menghasilkan.



Namun demikian, roda kehidupan ini berputar. Musim ini hasilnya luar biasa. Kesabaran, ketelatenan, doa, usaha, juga belajar dari pengalaman, membawa hasil terbaik. Khas kacang "Tapan". Memang desa/kampung saya, terkenal sebagai sentra kacang tanah di daerah sekitar. Selain petani, banyak yang uasahanya jual beli kacang tanah. Menjadi tempat tujuan orang-orang dari luar daerah untuk mencari kacang tanah.


Ada pemandangan yang khas saat musim panen kacang begini. Beberapa halaman rumah penduduk dipenuhi gunungan pohon/daun kacang tanah yang sudah diambil dari sawah, namun biji kacangnya sendiri belum terpisahkan dari akar pohon kacang tanah. Sementara itu beberapa orang duduk disekitarnya, bekerja sambil ngobrol memisahkan biji kacang dengan pohonnya. Hal itu tak hanya berlaku dari pagi sampai sore saja, namun tiada henti saat malamnya. Daun/pohon kacang ini akan dijadikan sebagai makanan ternak. Tak hanya itu, tepi jalan desa yang sebenarnya sudah beraspal, jadi dihiasi pohon kacang (lung, kalau di daerah saya disebut rendeng) yang dijemur, yang akan dimanfaatkan sebagai pakan kambing atau sapi.


Orang tua saya memang tidak punya sawah, sehingga tidak mengalami panen juga. Namun merasakan euforianya^^. Bapak ikut juga mencari rendeng, mencari sendiri ataupun membeli dari orang untuk persedian makan ternak-ternaknya. Pun juga menjemur, membalik, mengangkat "jemuran" rendeng ini menjadi rutinitas tambahan beliau. Selain itu tetangga terdekat yang panen kacang tanah, mengetuk pintu kami demi memberikan satu kresek besar kacang tanah berkulit, yang siap untuk dijadikan kacang rebus ataupun penganan lain, karena lebih dari satu tetangga jadinya sekarang ada 4 kresek . . . hehehe. Merasakan juga rejeki mereka, alhamdulillah.



Itulah tampilan desa saya, desa agraris, masa tanam, masa menyiangi rumput, masa perawatan, hingga masa panen . . . Panen apapun di sawah, padi, jagung, kacang tanah, wijen, kedelai . . . merupakan tampilan kearifan desa. Saling mendukung satu sama lain, saling menolong, saling berbagi, nilai kebersamaan yang lugas, saling memberi saran, juga nilai khas yang sebenarnya khas banget bangsa ini, namun mulai terkikis oleh waktu, teknologi, dan perkembangan yaitu nilai gotong royong.


Dan jelas sekali bagi orang-orang yang mau berpikir dan mencari hikmah disetiap hal, bahwa masa-masa yang dilalui para petani di desa, kearifan yang mereka punya, tak lain dan tak bukan menampilkan kebesaran Sang Khalik, Sang Maha Berkehendak.


"Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang korma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.

( QS. Al An’am 6:99 )



Rabu, 14 September 2011

Dari Serial Anak-Anak Mamak: Eliana


"Jika kau tahu sedikit saja apa yang telah seorang ibu lakukan untukmu, maka yang kau tahu itu sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya kepada kalian"


Karya Tere-Liye yang pernah saya baca, selalu saja membuat saya jadi melankolis. Meninggalkan jejak-jejak hikmah yang tak bisa dikatakan sepele. Dan menurut saya begitulah sebuah karya yang bagus. Demikian juga karya Tere-Liye yang ini, Serial Anak-Anak Mamak. Serial ini terdiri dari 4 judul, yang masing-masing judul menceritakan kisah menawan 4 anak Mamak. Yaitu Eliana, Pukat, Burlian, dan Amelia. Buku yang terbit di awal adalah Burlian (buku-2), disusul Pukat (buku-3), Eliana (buku-4), dan buku-1 yang justru terbit paling akhir, Amelia.


Saya tersenyum senang, ketika suami saya pulang membawa novel tebal,
Eliana. Praktis dari Serial Anak-Anak Mamak, yang pioner saya baca adalah kisahnya si sulung anak Mamak, Eliana. Khas gaya Tere menulis, mengalir bagaikan air . . . tak terbendung. Namun tidak seperti beberapa novel Tere yang pernah saya baca, yang biasanya memakai alur maju mundur yang unik dan cerdas. Eliana ini total menggunakan alur maju (seingat saya sih begitu). Novel Tere, memungkinkan pembacanya mempunyai imajinasi yang seolah nyata tentang setting tempatnya, penggambaran tempat yang detail namun tak membosankan. Pun membaca Eliana, saya seperti dibawa ke kampung di pinggiran hutan di pedalaman Sumatera, yang indah, bergunung-gunung, bersahaja, dan sisi natural yang jelas.


Mengikuti kisah
Eliana, beberapa bagian mengingatkan saya pada masa kecil, petualangan kanak-kanak. Sering saya tersenyum-senyum sendiri dalam proses menyelesaikan novel ini. Suami sampai geleng-geleng kepala melihat saya . . . ^^


Adalah Eliana, anak gadis Mamak, sulung dari 4 bersaudara. Tak keliru, bapak menyebut Eliana si anak pemberani. Dia memang sosok gadis kecil yang pemberani. Bersama tiga rekannya, Eli membentuk Geng "Empat Buntal". Mereka kompak, bahu-membahu melewati kisah-kisah yang menakjubkan. Mengelilingi hutan, menyusuri sungai, bahkan melawan derasnya sungai di malam gelap untuk menggagalkan usaha-usaha penuh kerakusan orang-orang kota yang hendak mengeksploitasi sabuk sungai, pertambangan pasir yang tentu saja merugikan penduduk kampung mereka. Bersama rekannya itu pula Eli menjadi wakil dari sekolahnya, sekolah kampung pinggir hutan, yang guru aktifnya hanya satu, dengan gedung yang nyaris roboh (pada akhirnya roboh karena badai), pergi ke ibukota propinsi membawa karya terbaik hasil terbaik dari hutan mereka yang indah. Memang cerita di novel ini khas sekali petualangan anak kecil, namun bukan anak kecil yang manja. Nakal, justru itulah warna dunia anak yang indah dan menggemaskan.


Walaupun tentang anak-anak, kearifan sebuah keluarga sederhana bisa kita ambil dari cerita ini. Lihat saja tokoh
Mamak, sosok ibu luar biasa. Mempunyai disiplin tinggi, tegas, akhlak tidak tercela, pekerja keras, dan selalu berusaha mengutamakan suami serta anak-anaknya. Memang ibu, mamak, atau siapalah kita menyebutnya, selalu mempesona. Saya benar-benar menangis, ketika membaca bagian ini, sub judul ke 26 Kasih Sayang Mamak - 7. Berawal dari konflik Eli dan adik-adiknya, berlanjut keirian Eli terhadap adik-adiknya, sampai ujungnya adalah kemarahan Eliana terhadap mamaknya. Disinilah, dengan cerdas Tere menyisipkan hikmah terdalam. Allah mengajarkan pada Eliana tentang kasih sayang mamaknya, yang luar biasa, dan kasih sayang mamak yang diketahuinya itu tak ada sepersepuluh dari pengorbanan dan rasa cinta mamaknya. Lebih jelasnya, supaya dapet sentuhan perasaannya, tafadhal dibaca sendiri di novelnya ^^


Apresiasi saya terhadap karya ini adalah bagus, recomended. Terutama bagi guru, pendidik yang tiap harinya bersentuhan dengan dunia anak. Jua untuk ummi, abi, calon umi dan abi . . . bacaan keluarga yang mengajarkan keteguhan, didikan iman, kesungguhan, kerja keras, kesederhanaan, kesahajaan, peduli sesama, kasih sayang tiada tara, cinta lingkungan, dan sarat makna lainnya. Satu lagi, ini yang selalu ada pada karya Tere tentunya, bahasa yang memikat.


Selamat Membaca . . .