Pages

Jumat, 14 September 2012

Perasaan Saya Menjelang Proses Persalinan


Saya masih ingat benar waktu itu. Kamis, 26 Januari 2012. Saat saya mendapatkan test pack berstrip 2, menunjukan hasil positif di tangan saya yang sedikit gemetar, menyimpan rasa tak percaya sekaligus bahagia. Ketika usai shalat Subuh, saya mengSMS suami saya yang sedang ada di Bandung. Tak segera mendapat respon. Dia baru merespon dengan langsung menelepon saya setelah hampir 90 menit kemudian. Saat saya sudah berada di ruang kelas VI, memberi les tambahan pelajaran sejak pukul 05.30. Saat itu sambil menahan air mata haru (walau akhirnya netes juga), saya bercerita kepada suami dengan apa yang saya alami sebelum subuh tadi. Dia mendengarkan dengan seksama. Telepon singkat pagi itu ditutup dengan pesan darinya untuk berhati-hati, dan ucapan tahmid kami berdua.

Ahhhh itu tadi, selintas ingatan akan sebuah peristiwa yang diawali sebelum subuh di 1/3 malam terakhir, 8 bulan yang lalu. Saat saya tahu Allah SWT memberikan nikmat luar biasa, memberikan bakal amanah di rahim saya. AllahuAkbar. Kini setelah melewati pekan demi pekan, saya seperti bertranformasi. Secara psikis, emosi, dan yang jelas fisik. Segala macam rasa silih berganti memenuhi hati, menggurat emosi secara berganti. Di pekan ke 39 ini pun demikian. Mendekati proses persalinan, perasaan saya didominasi 2 macam rasa. Rasa senang karena akan segera melihat “dia” dan rasa khawatir atau cemas. Maklumlah hamil pertama, mengalami proses persalinan pertama. Toh biasanya apa-apa yang pertama membuat cemas.

Dominasi khawatir saya lebih disebabkan karena hubungan “special” saya dengan suami, masih long distance. Siapapun wanitanya jika melahirkan pasti ingin didampingi oleh suaminya. Disupport habis-habisan saat berjuang. Ini sangat menjadi cita-cita saya. Namun saya khawatir jika hari H suami ternyata belum ada di sisi, masih diperjalanan yang memakan waktu 10 jam. Saya sempat uring-uringan dengan kemungkinan tersebut, yang pada akhirnya saya menyampaikan ketakutan saya sambil menangis tersedu-sedu via telepon kepada suami saya. Saat itu rasanya saya tak akan mampu jika dia tak mendampingi saya. Saya berpikir tangan siapa yang akan saya pegang erat, tubuh siapa yang akan menjadi sandaran ketika saya mengalami kontraksi yang sudah ekstrim. Sementara saya beranggapan orang-orang terdekat saat ini pun akan tetap terasa asing. Kelemahan jiwa saya saat dipenuhi ketakutan jua berandai, ehmm jika ibu saya masih sehat dan masih ada di dunia ini pasti saya tak setakut ini, tak selemah ini. Andaian saya itu untuk beberapa menit bergelayut, yang akhirnya saya buang dengan banyak-banyak istighfar.

Menanggapi sedu sedan saya, suami saya tercinta diam mendengarkan. Setelah puas saya tumpahkan, beliau mengambil alih kendali pembicaraan. Dengan sabar beliau mentausyiahi saya. Tak tanggung-tanggung lebih dari 30 menit. Hati saya semakin luruh, bebalnya prasangka yang menakutkan bergeser. Walaupun belum 100%, namun terasa jauh lebih lapang. Saya seperti menemukan kembali keoptimisan saya. Tanpa sedan, air mata saya terus mengalir, mendengar suara suami diujung telepon. Suara dengan kalimat yang menguatkan. Rangkaian kalimat yang begitu saya ingat “Adek tidak boleh berpikiran bahwa mas adalah tempat bersandar, bahwa semua tak akan berjalan lancar jika tak ada mas, bahwa adek tidak akan kuat jika mas tidak mendampingi. Ingatlah Allah lah tempat terbaik untuk bersandar, Allah lah yang akan memberi kekuatan. Allah lah yang member pertolongan, bukan mas juga bukan bidan. Semakin dekatkan diri pada Allah, maka Allah juga akan semakin dekat. Berprasangka baik pada Allah. Kita berencana menyiapkan segala kemungkinan, namun hanya Allah yang berhak meng”iya”kan”. Benar saya tersentak, orientasi saya sebelumnya bersandar pada kekuatan manusia yang sangat lemah. 


Saya merefresh kembali jiwa, rasa, hati, dan pikiran saya. Yup saya optimis apapun yang terjadi, saya berprasangka terbaik. Saya yakin “dedek” akan memilih waktu sendiri untuk lahir, dan cara sendiri. Bahwasannya Allah akan memberikan skenario terbaiknya. Plan A, plan B, plan C, telah tersusun di benak saya. Antisipasi apapun yang terjadi. Berbekal usaha dan doa. Bismillah.



Kini ditengah menghitung detik demi detik, melalui hari. Merasai setiap kontraksi rahim saya, entah palsu entah asli, dan mencatatnya, mengamatinya, saya hanya bersyukur sembari berdoa. Ditemani 3 buku referensi yang saya punya, browsing-browsing di site-site kebidanan, saya membandingkan dengan apa yang saya rasakan. Membuat catatan sederhana tentang setiap perubahan. Ya, harapannya apa yang saya lakukan bisa menjadi signal dari “dedek” di perut saya, dan mengabarkan kepada suami saya akan segala kemungkinan. Mudah-mudahan Allah memberikan kemudahan. Terakhir, dalam persiapan menghadapi persalinan tidak cukup tahu bagaimana proses persalinan, dan teori-teori yang memudahkan, namun penting sekali mempunyai kekuatan spiritual, prasangka terbaik akan pertolongan dan kuasa yang Maha Perkasa. Allah Azza Wa Jalla.




8 komentar:

  1. Merasa terharu adek masih mengingat kata-kata mas. Semoga semua dimudahkan oleh Allah. Banyak berdoa dan mengingat Allah. Dia sebaik-baik tempat bersandar dan berkeluh kesah.

    Tetap enjoy, tetap optimis, banyak bersyukur serta tetap berprasangka baik bahwa mas akan hadir pada saat yang tepat ^_^. Love you.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin, terima kasih mas telah mensupportku . . . :)

      Hapus
  2. Semoga persalinannya lancar, ya, Mbak.

    Btw, suaminya galak, ya? *justkidding

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin. Alhamdulillah sudah terlewati dan banyak kemudahan dari Allah SWT.
      Suami saya baik hati kok^^ sangat sayang pada saya hehe

      Hapus
  3. Subhanallah. Apa yang mbak Dwi rasakan tidak berbeda sama sekali dengan persalinan saya 2 tahun lalu. Ketika janin sudah berumur 41 minggu (seharusnya 40 minggu sudah harus dilahirkan), ternyata sama sekali tidak ada kontraksi. Tepat pagi itu saya ke dokter dan kata beliau : ini ketubannya uda keruh mbak. Jadi, maksimal jam 12 ini sudah harus tiba di RS dan maksimal 1x24 jam bayi sudah harus keluar. Astaghfirllah, saat itu suami dinas di pacitan. Jadi ya, do by my self. Pulang ke rumah, prepare, cari carteran mobil, daftar ke RS, tepat 3 jam setelah diberi perangsang suami datang dan alhamdulillah dede lahir dengan selamat. Mbak Dwi, semangat ya!!! :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih kunjungan dan motivasinya mbak.
      Alhamdulillah, tgl 18 kemarin pas melahirkan bisa ditemani suami. ^^

      Hapus
  4. Selamat mbak yuliii, semoga mbak jadi ibu yang amanah dari putri yang sholehah...saya tunggu postingan pertamanya tentang dek hanan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin Yaa Rabb. Sukron dek riris.
      Iya ditunggu yaa, sekarang ngeblognya disambi nungguin dek hanan bobo' hehe.

      Hapus