Pages

Senin, 17 November 2008

Kerinduan Untuk Bu Giek . . . (Jilid 2)

Sudah lebih dari sebulan, kami tidak menemukan sosok beliau di meja kerjanya. Tidak mendapatkan aura kepemimpinannya, tidak tersentuh oleh pesan-pesan bermaknanya, tidak mendapatkan senyum-senyum, apapun yang khas pada diri beliau. Seperti dulu ketika beliau masih sehat, energik, cekatan, berwibawa menjadi pemimpin bagi kami. Rindu terhadap beliau serasa senantiasa menggumpal di sanubari . . . .

Kami kerap menemuinya di rumah, ketika free class ada saja diantara kami yang meluncur ke kediaman beliau . . . sebatas menemui, mengajak bicara, menyapa, menyentuh telapak tangan, dan menciumi wajahnya, mendengarkan apapun yang dituturkan dengan lancar meski tak jarang kami kesulitan untuk menangkapnya. Yah . . . penyempitan darah di otak yang melemahkan syaraf-syaraf tubuh beliau bagian kiri telah membatasi geraknya . . . .


Walau begitu sikap bijak bestarinya masih saja mempesona, berkali ketika kami mengunjuginya beliau menyampaikan berkali-kali maaf atas semua khilafnya, berkali-kali minta didoakan untuk kesembuhannya. Berkali pula beliau berkata, ingin bersabar menerima semua ujian ini, ujian yang semoga bisa menghapus sebagian dosa-dosa, memperbaiki timbangan di akherat kelak.

Walau dalam kondisi seperti itu, masih tetap ada semangat yang membuat kami malu . . .

Semangat luar biasa, yang menyertai harapan dan doa. Kami dengar meski samar, beliau berkata, ”Yaa Allah berikanlah aku waktu untuk sembuh . . . berikanlah aku waktu untuk sembuh meski sebentar saja, agar aku bisa menyelesaikan kewajiban dan janji-janjiku”


Ahh, beliaulah Bu Giek . . . yang mengajarkan padaku tentang arti seorang guru, guru bukan hanya sebagai pengajar tapi juga sebagai pendidik. Bu Giek . . . yang ketika pertama aku resmi dinas di wilayah kerjanya memberikan untaian petuah untuk bisa menjalani hidup dan kerja dengan penuh kesabaran serta kesyukuran, untuk selalu memperbaiki niat untuk apa bekerja, untuk bisa bijaksana dalam kerja dan rumah tangga (kelak), untuk bisa melaksanakan beban amanah sebaik-baiknya, untuk memaknai hidup bukanlah untuk sekedar meminta tapi juga memberi, bukan sekedar suka tapi juga duka, bukan sekedar menang tapi juga kalah, bahwa hidup penuh dengan bantingan-bantingan perasaan yang luar biasa, menyenangkan juga menyakitkan.


Ahh, beliaulah Bu Giek yang masih ingin berkarya, ingin mewujudkan visi dan misi SD dengan sebenarnya, masih ada rencana besar untuk kami anak buahnya. Tapi memang begitulah, secara sunatullah manusia hanya bisa berencana. Seperti kata-kata dalam sepotong SMS yang masuk di HPku beberapa minggu yang lalu ”Tuliskan rencana antum dengan sebuah pensil. Tapi berikanlah penghapusnya pada Allah. Biarkanlah Allah Swt menghapus bagian-bagian yang salah dan menggantinya dengan rencanaNYA yang lebih Indah”. Semuanya tidak akan pernah bisa berjalan tanpa keridhoanNya.


Bersama kerinduan-kerinduan ini begitu banyak makna. Untuk bisa menjaga lisan kita, untuk selalu mensyukuri setiap kondisi, mensyukuri waktu-waktu yang diberikan kepada kita, mensyukuri waktu sehat kita . . . untuk selalu berdoa atas jaminan kesehatan kepada Allah di setiap harinya, Allahuma afini fii badanii, Allahuma afiini fii sam’ii, Allahuma afiini fii basarii . . . Ya Allah, sehatkan badanku; Ya Allah, sehatkan pendengaranku; Ya Allah, sehatkan penglihatanku . . .

Ahh, beliaulah Bu Giek, yang pekan ini akan melaksanakan operasi di kepala tahap kedua . . . dipercepat karena dokternya akan naik haji. Beliaulah Bu Giek yang ingin kami temani ketika berjuang di tahap kedua. Tentunya juga sepotong doa . . . . doa yang menguatkan. Karena doa adalah kekuatan terbesar di muka bumi ini . . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar