Pages

Senin, 02 Mei 2011

Selamat Ujian Nak . . .

Sabtu pagi, jam dinding di kelas 6 sekolah kami menunjukkan pukul 07.30, sudah tidak terlalu pagi. Namun hujan yang tak deras dini hari tadi masih menyisakan bekasnya, yang membuat pagi itu lebih dingin dari biasanya. Suasananya jadi syahdu dan melankolis. Pas banget dengan suasana yang terbentuk di ruang kelas 6.

Tak seperti hari-hari biasanya, namun 2, 3 tahun yang lalu dan tahun-tahun sebelumnya saya pernah merasakannya. Pagi itu saya dan semua rekan guru pengajar di SD kami juga bapak Kepala Sekolah berkumpul di kelas 6. Kami duduk di kursi-kursi yang ditata rapi di depan kelas, di bawah white board. Berhadapan dengan 42 siswa kelas 6, yang duduk sangat rapi dan begitu tenang, tak seperti biasanya. Bapak kepala sekolah tengah menyampaikan wejangannya untuk anak didik kami yang mulai Senin ini dan pekan depan akan melaksanakan ujian sekolah juga ujian nasional.

Satu per satu saya memandang wajah yang tentu saja sangat familiar bagi saya itu. Tiga tahun mengajar mereka, di kelas 4, 5, dan 6 tentunya banyak sekali kenangan, suka duka yang tercipta. Saya yakin itu pula yang dialami oleh rekan-rekan saya. Sehari sebelumnya saya masih memberikan pelajaran PKn untuk mereka terakhir kali. Persiapan terakhir sebelum UAS, dan sudah menjadi kebiasaan bagi saya untuk mengatakan kepada siswa kelas 6 bahwa “hari ini terakhir diajar bu yuli lho . . . saya minta maaf yaaa jika selama ini dalam mengajar atau membina kalian ada kesalahan” mereka tersenyum, ada keluh . . . dan bersamaan mereka bergumam . . . “kami juga bu . . .” aih . . . akhirnya moment ngajar terakhir itu begitu menyenangkan, penuh semangat.

Usai kepala sekolah menyampaikan pesan-pesannya, giliran wali kelas 6 bu Dyah yang unjuk bicara, tak banyak, singkat saja . . . mungkin karena sudah begitu banyak pengarahan teknis, pesan moral yang disampaikan hari-hari sebelumnya. Hampir setiap hari. Setelah Bu Dyah memberikan intruksi, 42 anak yang hari itu tampak manis-manis bersiap, beringsut dari tempat duduknya, memberi ruang pada teman-temannya, mulai berdiri, berbaris tertib menuju ke kami. Saya dan guru yang lain . . . berdiri juga di depan kelas.

Satu per satu bersalaman, lirih sekali setiap mereka berkata “pak/bu minta maaf, dan mohon doa restunya” terus-menerus, satu-satu dari mereka berkata, mencoba menahan air mata dan getar suara yang semakin tampak nyata. Pun saya dan rekan-rekan guru wanita, demi melihat mimik wajah mereka yang mulai merah menahan air mata, tak bisa dipungkiri air mata juga mulai merembes keluar. Saya semakin trenyuh ketika murid saya yang bernama Rohman menyalami saya, suaranya bergetar dan air muta sudah keluar membasahi pipinya. Rohman, anak laki-laki usia 12 tahun, yang sampai sekarang tak tahu wajah kedua orang tuanya. Dalam hati saya berdoa “mudah-mudah engkau kuat nak, mendapatkan cinta lain, yang tak kau dapatkan dari ibu ayahmu”.

Prosesi berlanjut hingga penghujungnya. Kini di depan kami, kembali 42 wajah terisak-isak. Mulai dari siswa yang unggul hingga siswa yang terkenal nakal dan sering membuat jengkel guru-gurunya. Entah apa yang mereka rasakan, rasa sesak ingat segala perjuangan, ingat kesalahan, kebersamaan, rasa haru hendak ujian… yang jelas mereka menangis sesenggukan. Acara diakhiri doa yang dipimpin oleh Bapak guru agama. Kami mengamini setiap doa yang dilantunkan.

Yaa Rabb mudahkanlah, lancarkanlah, siswa-siswa kami mengerjakan menghadapi Ujian Sekolah dan Ujian Nasional. Hindarkanlah mereka dari segala fitnah dan kesulitan . . . .

Begitulah, seremoni kecil pagi itu, acara pamitan . . . setiap tahun kami lakukan, guna memberikan spirit bagi anak didik kami, anak-anak yang 6 tahun telah menyita perhatian juga menjadi tanggung jawab kami. Anak-anak yang esok akan selalu mengenang kami sebagai guru-guru mereka, yang mengajar banyak hal juga makna kehidupan. Insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar