Tak terasa tahun ajaran ini sudah hampir sampai dipenghujungnya, kemarin bapak kepala sekolah menyampaikan kalau Ulangan Akhir Semester (UAS) II akan dilaksanakan dua minggu lagi. Ah kesibukan sebagai guru akan bertambah, berbagai agenda rutin akan menunggu. Namun bukan itu yang membuat saya bimbang, toh sudah merupakan tugas rutin yang biasa dilakukan dan memang menyenangkan. Hanya ada satu yang berat dan mampir dipikiran lama-lama. Yaitu perihal menentukan kenaikan kelas.
Kenaikan kelas??? Mungkin bagi yang tidak berprofesi sebagai guru, terutama guru SD. Atau minimal yang berkecimpung di dunia pendidikan. Memandang, “apa sih susahnya menaikkelaskan anak???”. Ehm. . . memang tak susah, sama sekali tak susah. Tak susah bagi siswa dengan prestasi menengah ke atas, dengan nilai cemerlang di atas batas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal, KKM setiap sekolah ini beda. Misalnya SD saya menetapkan KKM untuk pelajaran Matematika 61, maka syarat seorang siswa bisa naik kelas dan dinyatakan tuntas belajar matematika jika nilai matematikanya minimal 61). Masalahnya bagaimana dengan yang nilainya banyak yang di bawah KKM??? Di kelas lambat mengikuti pelajaran, punya masalah belajar yang serius . . . . inilah susahnya.
Teringat kejadian setahun kemarin. Nilai-nilai sudah masuk ke saya sebagai wali kelas 4. Mulai saya olah satu per satu, berulang untuk 42 siswa di kelas saya. Dengan bismillah, berharap akan mengusir rasa bimbang yang mulai menghantui. Ada beberapa siswa yang nilainya tak memuaskan. Hasil musyawarah dengan dewan guru yang juga mengajar di kelas 4 dan kepala sekolah memutuskan ada 2 siswa yang tidak dinaikkelaskan artinya harus mengulang di kelas 4, satu tahun lagi. Pun 2 nama sudah saya simpan dengan persetujuan teman-teman dan kepala sekolah. Dengan pertimbangan, nilai yang tidak dimencukupi di beberapa pelajaran, sikap di kelas yang jauh dari kata manis. Rapot dua nama itu saya sisihkan. Saya masih ragu, berat rasanya . . . . hati dan pikiran saya bergelut dengan dimensi-dimensi segala kemungkinan. Efeknya saya banyak tertunduk di ujung sajadah usai shalat wajib dan shalat malam. Seberat itukah??? Kenapa seberat itu???
Karena saya harus berhadapan dengan wali murid. Pernahkah terbayangkan, menyerahkan buku laporan nilai ke orang tua murid sambil mengatakan “Maaf bapak/ibu anak anda harus tinggal kelas di kelas 4” lalu memandang ekspresi orang tua yang menjadi kaku, terperanjat, tak percaya, lalu sedih, penuh tanda tanya . . . menatap guru anaknya yang begitu tega mengeksekusi anaknya tidak kata TIDAK NAIK KELAS . . . dan ternyata memang tak berhenti disitu saja. Tahun lalu, siang harinya saya di telepon oleh ibu murid yang tida naik tadi. Nangis-nangis, memohon-mohon, mengungkapkan keperihan hatinya, bagaimana caranya agar anaknya menjadi bisa naik kelas, cerita kalau ayahnya sampai langsung jatuh sakit. Hati ibu mana yang tak perih, inilah yang membuat saya juga berdarah-darah (hiperbola). Lalu malam harinya, ketika saya bersiap untuk bergeagas ke stasiun. Ada tamu yang tak diundang, sepasang orang tua usia 30 an. Tentu saja saya mengenalnya, orang tua dari murid yang tak naik kelas lainnya. Acara pokok langsung dimulai, mereka bertanya kenapa anaknya tak bisa naik kelas, saya merasakan emosi disetiap perkataan sang ibu yang bergetar menahan tangis. Demi melihat itu, hati saya jadi sesak luar biasa. Perlahan namun pasti sayapun menjelaskan kondisi. Juga ada emosi, bukan emosi kemarahan, bukan . . . tapi apalah yang jelas saya jadi merasa bersalah telah membuat 2 keluarga sedih. Atau mungkin ada yang membenci saya (kalau ini suudzon).
Dari telepon dan pertemuan malam itu, pada intinya jawaban saya terhadap pertanyaan orang tua atau istilah lebih ekstrim “protes” mereka sama. Saya berusaha bijaksana dan tegar menjawabnya. Bahwa keputusan ada atau tidak, siapa yang tidak naik kelas adalah keputusan bersama yang telah dimusyawarahkan, setiap guru yang mengajar telah memberikan masukan-masukan yang menentukan. Pun saya menjelaskan kriteria kenaikan kelas yang ternyata belum betul-betul wali murid pahami. Di ujung penjelasan saya, agar mereka bisa menerima dan yakin dengan keputusan sekolah saya ucapkan sepatah kalimat, yang membuat saya yakin dengan semua ini. Kalimat yang diucapkan oleh Bapak kelapa Sekolah yang bijaksana, is . . .”Bapak Ibu, ijinkan kami membimbing anak bapak/ibu setahun lagi. Insya Allah akan lebih baik lagi”. Dan kalau tidak berkenan dengan penjelasannya saya, saat itu saya mempersilahkan untuk konsultasi kepada atasan saya. Alhamdulillah dengan proses yang ada, akhirnya para wali murid menerima. Walaupun ibu yang telepon hampir setiap hari telepon saya, curhat, nangis-nangis, minta anaknya dinaikkan, berapapun biayanya. Waduh!!!. Proses yang dilalui, menyisakan kata-kata bijak dari mereka “Iya saya menerima, kami titipkan anak saya kembali, mohon bimbingannya agar menjadi lebih baik”. Dengan tegas saya berkata, InsyaAllah, kita bekerja sama bapak/ibu, untuk perkembangan anak yang lebih baik. Alhamdulillah dua anak “Bengal” yang tertinggal, kini kondisi jauh lebih baik, baik sekali malah.
Yah keputusan untuk tidak menaikkelaskan anak kadang dianggap berlebihan. Apa sih susahnya bagi seorang guru untuk menambah sedikit saja nilai anak, toh nilai tidak beli?? Inilah harga sebuah keseriusan dalam bekerja, mencoba menyesuaikan dengan pakem yang telah ditentukan tanpa mengabaikan nilai moral. Pertimbangan lainnya, pendidikan merupakan sebagai proses berkelanjutan. Masa peka anak yang berbeda satu sama lain, menyebabkan dasar keilmuan di tingkat awal yang tak matang akan mempengaruhi tingkat berikutnya.
Sebenarnya itulah yang selalu membuat saya nervous ketika akan kenaikan kelas seperti ini. Tapi insya Allah dengan bismillah, menuruti jalur-jalur yang benar, semua akan berakhir indah. Bahwa setiap hal akan memberikan pelajaran dan hikmah terbaik jika kita mau bersabar . . .
memang menjadi seorang ketika dihadapkan dengan masalah seperti itu menjadi hal yang dilematis
BalasHapusbagi kita tapi seyogyanya sebagai orang tua qta harus menyadari bahwa setiap anak itu berbeda. masing-masing punya kelebihan dan kekurangan.tinggal bagaimana memahamkan pada anak bahwa masing2 kita itu berbeda. pendidikan bukan hanya tanggung jawab seorang guru tapi tanggung jawab orang tua juga.
mrinding saya bacanya mbak..subhanallah peran guru itu yaa...tetap semangat mendidik generasi muda mbak..
BalasHapussalut
@ anymous: yupz, mmg demikian dalam mencapai keberhasilan pendidikan, ada istilah Tri Pusat pendidikan yaitu Sekolah/guru, keluarga/orang tua, dan masyarakat ... diperlukan kerjasama yang bagus untuk meng created anak agar 'pandai', terampil, selamat dunia akherat dan beruntung ...
BalasHapus@ Riris: terima kasih ries, banyak suka dukanya deh . . .
BalasHapusbahkan rekan saya pernah ada yang dilaporkan oleh wali murid ke kepala sekolah karena mencubit anaknya . . .
padahal mmg si anak susah banget dinasehati, luar biasa . . .