Pages

Kamis, 13 Oktober 2011

Andaikan sekolah tak ada PR . . .

Seminggu terakhir, rekan-rekan sesama guru di SD tempat saya mengajar dan juga saya, uring-uringan dengan sikap beberapa siswa (1,2,3 atau 4 siswa) yang tidak mengerjakan PR. Tak hanya sekali dua kali, namun beberapa kali. Inilah yang membuat saya dan teman-teman, harus kuat-kuat menekan emosi -walau banyak tak tertahankan sih . . . hehe- . Karena masalah ini pula, setiap hari ada siswa yang dihukum karena tidak mengerjakan PR, entah itu mengerjakan di teras kelas, mengerjakan di depan kantor guru, atau pun cukup duduk di bawah papan tulis sambil menyelesaikan PR nya . . . nah loh jadi PS lah, Pekerjaan Sekolah.


Bahkan parahnya, suatu hari di jam-jam akhir, kelas IV (wali kelasnya saya), 15 anak disuruh ke luar kelas ngerjain PR LKS yang ditugaskan oleh guru Bahasa Inggris. Allahu Akbar . . . saya yang kebetulan sedang jam kosong, hanya bisa geleng-geleng kepala. Malu sekali rasanya, kecewa, tentu saja sambil menekan-nekan emosi yang ingin marah. Sambil berusaha menguasai diri, saya tanya mereka satu per satu, kenapa sih tidak mengerajakan PR, padahal pelajaran Bhs. Inggris hanya 2 jam dalam satu minggu. Klasik sekali jawaban mereka. lupa, saya kira PRnya bukan yang ini, salah mengerjakan yang lainnya, dan ada pula yang LKS nya ketinggalan. Masya Allah.




Pernah juga, seorang teman guru yang menemukan tulisan iseng di buku tugas siswa yang dikumpulkan, Andaikan Sekolah tak ada PR . . . wah senangnya. Menurut cerita teman, yang nulis bukan lah anak yang nakal dan tidak berada di bawah rata-rata kelasnya. Saya jadi berpikir, mungkin bagi sebagian siswa PR dianggap sebagai suatu beban, suatu masalah yang bisa mengurangi waktu bermainnya di rumah. Setelah sejak pagi hingga siang hari berkutat belajar di sekolah, yang tentu saja minim saat untuk bermain. Memang, harus dipahami, masa-masa usia SD (7-12tahun) adalah masa bermain. Bermain adalah aktivitas yang tak lekang dari otak mereka. belajar lagi . . . belajar lagi . . . mikir lagi . . . mikir lagi . . . , mungkin itu adalah gerutuan dalam hati, ketika guru memberikan PR. wewwww . . . .


Pemberian PR atau Pekerjaan Rumah, sebenarnya diberikan oleh guru sebagai kegiatan tindak lanjut atas kegiatan belajar mengajar yang telah dilakukan di sekolah. Sarana yang lumayan efektif untuk siswa mau sedikit saja mengulang dan meningkatkan daya serap ilmu yang telah diberikan. Adapula orang tua siswa yang meminta agar setiap hari anaknya diberi PR, agar mau belajar di rumah. Selain itu, PR juga menjadi perekat bagi orang tua siswa agar mau melihat apa sih yang dipelajari oleh anak saya, sehingga ada peran orang tua dalam kegiatan belajar anak. Memang sukses atau tidaknya anak menyelesaikan PRnya, salah satu faktor pendukungnya adalah kemauan orang tua untuk mau "dekat" dengan belajar anak. Tidak sekedar menyuruh-nyuruh saja tentunya.


Sebut saja namanya Majida, salah satu murid saya, kelas 4, setiap hari dalam seminggu, ada saja bapak-ibu guru yang laporan kepada saya kalau Majida tidak mengerjakan PR. Tentunya juga pelajaran yang saya pegang tak luput dari "aksinya". Pun teman-temannya juga melapor, Bu tadi Majida tidak mengerjakan PR lagi. Seribu nasehat, samapi mulut berbuih (hiperbol) sudah saya sampaikan, namun tetap saja. Pada akhirnya, saya memutuskan untuk melibatkan orang tuanya. Saya buat sebuah nota di buku penghubung Majida, agar dibaca dan ditandatangani orang tuanya. Kira-kira nota tersebut berisi, pemberitahuan perkembangan belajar Majida, kebiasaannya yang "menjengkelkan", dan permohonan kepada orang tuanya, agar mau mengecek, dan menemani Majida menyelesaikan PR. Gayung bersambut, Majida lebih rajin menyelesaikan PR-PRnya. walau kadang, masih ada PR yang terlupakan . . . .


Begitulah, masalah PR memang bukan semata-mata masalah guru dan siswa, namun juga masalah orang tua. Sudah menjadi keharusan bagi orang tua, untuk menjadi partner belajar bagi anak. Partner yang sesungguhnya, mau mengecek buku anak-anaknya, menjadi pendamping dan tempat bertanya. Kadang saya tersenyum mendengar alasan orang tua "sekarang pelajaran anak SD itu sulit-sulit bu, saya bingung mengajarinya" sebenarnya bukan disitu esensinya, mendampingi adalah kemauan memotivasi, agar anaknya mau mencari, menemukan hal yang tak dia bisa. Bukan menunggui lalu ditinggal SMS an, atau nonton sinetron kesayangan. Toh, guru pastilah sudah mengukur soal-soal PR yang diberikan. Karena sebagai tindak lanjut, pastilah sudah diajarkan. Otomatis di buku catatan mereka sudah jelas tertuliskan. Yaa, memotivasi anak agar mempunyai kesadaran mengerjakan PR nya sendiri, dan membuat anak nyaman dengan kesertaan orang tuanya.


Berikut ada beberapa tips, agar anak sadar dengan kewajibannya menyelesaikan PR, tentu bukan kewajiban yang menyiksa.

  • Mengatur waktu belajar yang tepat
Temukan waktu yang tepat agar anak menyelesaikan tugasnya dengan baik. Setelah anak pulang sekolah usahakan agar mereka istirahat dahulu, karena mereka terlalu lelah untuk langsung mengerjakan PR setelah seharian beraktifitas. Setelah beristirahat barulah mengerjakan PR.
  • Mengutamakan tugas yang paling penting
Tanamkan pada anak untuk segera mengerjakan tugasnya sebagai prioritas yang paling penting. Hal ini dapat menanamkan disiplin dan tanggung jawab anak.
  • Buat jadwal aktifitas belajar secara harian
Buatlah jadwal aktifitas belajar secara harian. Lalu tempel pada tempat yang mudah terlihat. Misalnya pada meja belajar anak atau lemari es.
  • Pilih tempat belajar yang tepat
Tempat belajar yang tepat adalah tempat yang tenang dan banyak cahaya. Jauhkan dari televisi dan mainan anak.
  • Beri contoh yang baik
Ketika anak mengerjakan PR, orang tua hendaknya juga melibatkan diri dengan ikut membaca, menulis atau turut menyelesaikan soal-soal dalam games pendidikan (educational games) seperti di Dunia Belajar.

Nah dengan begitu tak ada ceritanya lagi siswa disuruh mengerjakan PR di luar kelas, yang merusak pemandangan, dan membuat guru-guru harus ekstra menggandakan kesabaran (supaya ndak marah . . . maksudnya) hehehe . . . .

1 komentar:

  1. wah saya juga sering tuh waktu SD, lupa ngerjain PR, tahu-tahu waktu pagi baru sadar ada PR. Langsung deh nangis minta ortu yang ngerjain. he he.

    BalasHapus