Saya masih ingat benar
waktu itu. Kamis, 26 Januari 2012. Saat saya mendapatkan test pack berstrip 2,
menunjukan hasil positif di tangan saya yang sedikit gemetar, menyimpan rasa
tak percaya sekaligus bahagia. Ketika usai shalat Subuh, saya mengSMS suami
saya yang sedang ada di Bandung. Tak segera mendapat respon. Dia baru merespon
dengan langsung menelepon saya setelah hampir 90 menit kemudian. Saat saya
sudah berada di ruang kelas VI, memberi les tambahan pelajaran sejak pukul
05.30. Saat itu sambil menahan air mata haru (walau akhirnya netes juga), saya bercerita kepada suami dengan apa
yang saya alami sebelum subuh tadi. Dia mendengarkan dengan seksama. Telepon
singkat pagi itu ditutup dengan pesan darinya untuk berhati-hati, dan ucapan
tahmid kami berdua.
Ahhhh itu tadi,
selintas ingatan akan sebuah peristiwa yang diawali sebelum subuh di 1/3 malam
terakhir, 8 bulan yang lalu. Saat saya tahu Allah SWT memberikan nikmat luar
biasa, memberikan bakal amanah di rahim saya. AllahuAkbar. Kini setelah melewati
pekan demi pekan, saya seperti bertranformasi. Secara psikis, emosi, dan yang
jelas fisik. Segala macam rasa silih berganti memenuhi hati, menggurat emosi
secara berganti. Di pekan ke 39 ini pun demikian. Mendekati proses persalinan,
perasaan saya didominasi 2 macam rasa. Rasa senang karena akan segera melihat “dia”
dan rasa khawatir atau cemas. Maklumlah hamil pertama, mengalami proses
persalinan pertama. Toh biasanya apa-apa yang pertama membuat cemas.
Dominasi khawatir saya
lebih disebabkan karena hubungan “special” saya dengan suami, masih long distance. Siapapun wanitanya jika
melahirkan pasti ingin didampingi oleh suaminya. Disupport habis-habisan saat
berjuang. Ini sangat menjadi cita-cita saya. Namun saya khawatir jika hari H
suami ternyata belum ada di sisi, masih diperjalanan yang memakan waktu 10 jam.
Saya sempat uring-uringan dengan
kemungkinan tersebut, yang pada akhirnya saya menyampaikan ketakutan saya sambil
menangis tersedu-sedu via telepon kepada suami saya. Saat itu rasanya saya tak
akan mampu jika dia tak mendampingi saya. Saya berpikir tangan siapa yang akan
saya pegang erat, tubuh siapa yang akan menjadi sandaran ketika saya mengalami
kontraksi yang sudah ekstrim. Sementara saya beranggapan orang-orang terdekat
saat ini pun akan tetap terasa asing. Kelemahan jiwa saya saat dipenuhi
ketakutan jua berandai, ehmm jika ibu saya masih sehat dan masih ada di dunia
ini pasti saya tak setakut ini, tak selemah ini. Andaian saya itu untuk
beberapa menit bergelayut, yang akhirnya saya buang dengan banyak-banyak
istighfar.
Menanggapi sedu sedan
saya, suami saya tercinta diam mendengarkan. Setelah puas saya tumpahkan,
beliau mengambil alih kendali pembicaraan. Dengan sabar beliau mentausyiahi
saya. Tak tanggung-tanggung lebih dari 30 menit. Hati saya semakin luruh,
bebalnya prasangka yang menakutkan bergeser. Walaupun belum 100%, namun terasa
jauh lebih lapang. Saya seperti menemukan kembali keoptimisan saya. Tanpa sedan, air mata
saya terus mengalir, mendengar suara suami diujung telepon. Suara dengan
kalimat yang menguatkan. Rangkaian kalimat yang begitu saya ingat “Adek tidak boleh berpikiran bahwa mas adalah
tempat bersandar, bahwa semua tak akan berjalan lancar jika tak ada mas, bahwa
adek tidak akan kuat jika mas tidak mendampingi. Ingatlah Allah lah tempat
terbaik untuk bersandar, Allah lah yang akan memberi kekuatan. Allah lah yang member
pertolongan, bukan mas juga bukan bidan. Semakin dekatkan diri pada Allah, maka
Allah juga akan semakin dekat. Berprasangka baik pada Allah. Kita berencana
menyiapkan segala kemungkinan, namun hanya Allah yang berhak meng”iya”kan”. Benar
saya tersentak, orientasi saya sebelumnya bersandar pada kekuatan manusia yang
sangat lemah.
Saya merefresh kembali jiwa, rasa, hati, dan
pikiran saya. Yup saya optimis apapun yang terjadi, saya berprasangka terbaik.
Saya yakin “dedek” akan memilih waktu sendiri untuk lahir, dan cara sendiri.
Bahwasannya Allah akan memberikan skenario terbaiknya. Plan A, plan B, plan C,
telah tersusun di benak saya. Antisipasi apapun yang terjadi. Berbekal usaha
dan doa. Bismillah.
Kini ditengah
menghitung detik demi detik, melalui hari. Merasai setiap kontraksi rahim saya,
entah palsu entah asli, dan mencatatnya, mengamatinya, saya hanya bersyukur
sembari berdoa. Ditemani 3 buku referensi yang saya punya, browsing-browsing di
site-site kebidanan, saya membandingkan dengan apa yang saya rasakan. Membuat
catatan sederhana tentang setiap perubahan. Ya, harapannya apa yang saya
lakukan bisa menjadi signal dari “dedek” di perut saya, dan mengabarkan kepada
suami saya akan segala kemungkinan. Mudah-mudahan Allah memberikan kemudahan. Terakhir,
dalam persiapan menghadapi persalinan tidak cukup tahu bagaimana proses
persalinan, dan teori-teori yang memudahkan, namun penting sekali mempunyai
kekuatan spiritual, prasangka terbaik akan pertolongan dan kuasa yang Maha
Perkasa. Allah Azza Wa Jalla.
Merasa terharu adek masih mengingat kata-kata mas. Semoga semua dimudahkan oleh Allah. Banyak berdoa dan mengingat Allah. Dia sebaik-baik tempat bersandar dan berkeluh kesah.
BalasHapusTetap enjoy, tetap optimis, banyak bersyukur serta tetap berprasangka baik bahwa mas akan hadir pada saat yang tepat ^_^. Love you.
Amin, terima kasih mas telah mensupportku . . . :)
HapusSemoga persalinannya lancar, ya, Mbak.
BalasHapusBtw, suaminya galak, ya? *justkidding
Amin. Alhamdulillah sudah terlewati dan banyak kemudahan dari Allah SWT.
HapusSuami saya baik hati kok^^ sangat sayang pada saya hehe
Subhanallah. Apa yang mbak Dwi rasakan tidak berbeda sama sekali dengan persalinan saya 2 tahun lalu. Ketika janin sudah berumur 41 minggu (seharusnya 40 minggu sudah harus dilahirkan), ternyata sama sekali tidak ada kontraksi. Tepat pagi itu saya ke dokter dan kata beliau : ini ketubannya uda keruh mbak. Jadi, maksimal jam 12 ini sudah harus tiba di RS dan maksimal 1x24 jam bayi sudah harus keluar. Astaghfirllah, saat itu suami dinas di pacitan. Jadi ya, do by my self. Pulang ke rumah, prepare, cari carteran mobil, daftar ke RS, tepat 3 jam setelah diberi perangsang suami datang dan alhamdulillah dede lahir dengan selamat. Mbak Dwi, semangat ya!!! :-)
BalasHapusTerima kasih kunjungan dan motivasinya mbak.
HapusAlhamdulillah, tgl 18 kemarin pas melahirkan bisa ditemani suami. ^^
Selamat mbak yuliii, semoga mbak jadi ibu yang amanah dari putri yang sholehah...saya tunggu postingan pertamanya tentang dek hanan :)
BalasHapusAmin Yaa Rabb. Sukron dek riris.
HapusIya ditunggu yaa, sekarang ngeblognya disambi nungguin dek hanan bobo' hehe.