Rumah itu sederhana saja, terletak di salah satu sisi pertigaan Jalan Sawo dengan jalan tembus ke Jalan Raya Monginsidi, letak SMA 1 Magetan. Jalan Sawo, merupakan salah satu jalan sentra lingkungan industry kecil kerajinan kulit. Produk yang terkenal adalah sepatu dan sandal. Jelaslah kanan kiri, depan belakang rumah sederhana tadi adalah pabrik-pabrik sepatu home industry. Dibandingkan dengan rumah yang lain, yang sudah mengalami modernisasi karena menjadi ruko, tentulah rumah tadi tampak sangat kuno. Namun rumah tadi amatlah bersih. Walau pintu dan jendelanya model jadul, lantainya pun bukan keramik hanya berlapis semen yang halus. Rumah sederhana itu adalah rumah kost saya, selama 3 tahun menuntut ilmu di SMA 1 Magetan.
Di rumah itu hanya ada 2 kamar yang disewakan. Satu kamar dengan ukuran 2,5 x 3,5 meter. Dan kamar yang lain dengan ukuran hampir 2 kali lipatnya. Tahun pertama ketika saya kost di rumah itu, harga sewanya hanya 20ribu per bulan. Kelas 1 SMA saya menempati kamar yang ukurannya lebih kecil bersama mbak kandung saya yang sudah kelas 3. Sementara kamar yang besar ditempati oleh 4 orang. 3 kakak kelas saya (salah satunya adalah saudara sepupu saya) dan 1 teman seangkatan. Tahun kedua, setelah mbak saya lulus, posisinya digantikan oleh Mbak Erna, kakak kelas saya yang manis dan cerdas namun agak pendiam dibandingkan yang lain. Sementara kamar sebelah ditempati 3 orang. Harga kost naik menjadi 25ribu sebulan. Tahun terakhir, hanya saya dan teman seangkatan, Teh Rini Latifah yang tersisa. Kami berdua pindah ke kamar yang lebih besar. Terasa longgar namun menjadi sepi. Sampai akhirnya datang satu teman kami, Peni. Bertiga kami bertahan di kostan itu.
Rumah kost yang saya tempati selama 3 tahun itu, jaraknya sekitar 350 meter dari SMA 1 Magetan. Tak sampai 7 menit kami sudah sampai. Memang agak jauh dibandingkan dengan kost-kost elit yang tepat di depan SMA. Sering pula kami jalan setengah lari karena baru keluar kostan sudah terdengar bel masuk berbunyi, walhasil ngos-ngosan sampai di pintu gerbang, melihat wakasek kesiswaan berdiri berkacak pinggang…hehe. Ini adalah kebiasaan buruk, Kota Magetan yang sangat dingin di pagi hari membuat kami berenam malas mandi pagi-pagi. Jadinya setelah pukul 05.30 acara antri mandi baru dimulai. Dengan cepat dan kilat, gosok gigi harus diluar kamar mandi. Karena kamar mandinya hanya 1.
Dengan harga hanya 20-25ribu tentu saja saya dan teman-teman harus masak sendiri. Tapi kami hanya masak nasi. Pada hari senin pagi, ketika satu per satu berdatangan dari kampung. Masing-masing membawa beras 1-2kg, ada pula yang membawa gula, ada pula ibu yang berbaik hati membuatkan lauk apa saja. Cara memasak nasi yang kami terapkan adalah cara mengetim. Yaitu menanak nasi dengan cara meletakkan beras di wadah alumunium lalu diberi air dengan ukuran dua ruas jari telunjuk. Kemudian dimasukkan ke panci yang sudah diberi air pula. Dijerang di kompor minyak tanah, lalu tunggu selama 1 jam. Biasanya masa menunggu ini, kami manfaatkan untuk belajar, tidur-tiduran, ngobrol, dll. Tak jarang kami lupa, baru ingat setelah tercium bau gosong . . . wush tanpa dikomando satu dua diantara kami berlarian ke dapur, menyelamatkan si nasi.
Karena sudah punya nasi, kami tinggal membeli lauknya. Untuk sarapan, beruntung jarak satu rumah dengan kostan kami ada penjual pecel yang enak sekali. Jadi biasanya secara bergantian sambil antri mandi kami membawa sepiring nasi panas ke penjual pecel, nanti Lik Harti akan menambahkan bermacam sayuran dan menuangkan sambal pecel diatasnya plus satu buah lentho. Menu sederhana ini harganya cukup Rp 500,00. Murah sekali kan. Untuk makan siang, kalau kami pulang tepat waktu tak ada urusan ekstra dan praktikum di sekolahan, kami membeli lauk dari penjual lauk pauk dan gorengan yang berkeliling tepat pukul 13.30 atau membeli gado-gado di tetangga sebelah (gado-gado disini buat lauk, jadi kami tetap menambahkan nasi) atau menggoreng telur ceplok. Bagaimana dengan makan malam? Nasi tentu saja ada. Bu Um, ibu kost kami yang hanya sendirian tinggal di rumah itu. Setiap sore berbaik hati memberi kami lauk, satu mangkok sayur dibagi untuk semua, dan masing-masing satu potong tempe atau ikan lainnya. Walaupun begitu kami sangat menikmatinya, enak sekali rasanya.
Setiap shalat maghrib, isya dan subuh kami shalat berjamaah, salah satu dari kami menjadi imamnya. Usai shalat maghrib, bersahutan bacaan alquran dari kamar masing-masing. Harus saya akui, kondisi di kostan ini pula yang membuat saya lebih sadar untuk mempelajari agama dengan semangat yang lebih baik lagi. Bertahan untuk tak tergoda dengan hal-hal yang tak sejalan dengan hukum Islam.
Tiga tahun bersama teman, juga mbak-mbak kost, sudah menjadi satu keluarga. Suka duka kami jalani bersama. Tawa dan tangis, senang dan sedih. Kost ini memang menjadi saksi dalam 3 tahun perjalanan hidup masing-masing dari kami. Kost kami memang sangat sederhana tapi begitu nyaman, dengan ibu kost yang baik hati pula. Oleh karena itu, hampir tiap sore ada saja teman-teman salah satu kami yang datang ke kost, sekedar ngobrol, belajar, urusan organisasi dan sebagainya. Makanya tak pernah sepi. Kami belajar bersama, tidak bisa satu soal cukup bertanya dengan yang lain. Maka yang bisa akan menjelaskan dengan sejelas-jelasnya. Alhamdulillah saya punya teman kost seangkatan Teh Rini yang pandai Matematika dan Fisika ^^.
Semakin mengingat, semakin berkelebatan penggalan-penggalan kisah di kost sederhana ini. Luar biasa, saya merasakan begitu banyak cinta, begitu banyak pengalaman, yang mengajarkan arti “berjuang” pada saya. Lebih peka, tinggal bersama. Mengikis egois, berbagi dengan teman lainnya. Sampai akhirnya, setelah 3 tahun saya sempurna menuntaskan belajar saya di SMA 1 Magetan. Sempurna juga, waktu saya berdiam di kamar kost saya, rumah kost kami. Mengepak barang-barang, mengemas setiap kenangan. Menyusul pendahulu kami, mbak-mbak kost kami menuju kota impian, menjemput cita-cita. Dengan ucapan syukur dan doa, juga perpisahan yang sebenarnya menyesakkan dada. Mencium takzim tangan keriput ibu kost kami. Bersama ucapan terima kasih yang tiada tara. Kostan itu akan menjadi bagian sejarah hidup saya, pun saya yakin begitu pula dengan sahabat-sahabat saya.
Di rumah itu hanya ada 2 kamar yang disewakan. Satu kamar dengan ukuran 2,5 x 3,5 meter. Dan kamar yang lain dengan ukuran hampir 2 kali lipatnya. Tahun pertama ketika saya kost di rumah itu, harga sewanya hanya 20ribu per bulan. Kelas 1 SMA saya menempati kamar yang ukurannya lebih kecil bersama mbak kandung saya yang sudah kelas 3. Sementara kamar yang besar ditempati oleh 4 orang. 3 kakak kelas saya (salah satunya adalah saudara sepupu saya) dan 1 teman seangkatan. Tahun kedua, setelah mbak saya lulus, posisinya digantikan oleh Mbak Erna, kakak kelas saya yang manis dan cerdas namun agak pendiam dibandingkan yang lain. Sementara kamar sebelah ditempati 3 orang. Harga kost naik menjadi 25ribu sebulan. Tahun terakhir, hanya saya dan teman seangkatan, Teh Rini Latifah yang tersisa. Kami berdua pindah ke kamar yang lebih besar. Terasa longgar namun menjadi sepi. Sampai akhirnya datang satu teman kami, Peni. Bertiga kami bertahan di kostan itu.
Rumah kost yang saya tempati selama 3 tahun itu, jaraknya sekitar 350 meter dari SMA 1 Magetan. Tak sampai 7 menit kami sudah sampai. Memang agak jauh dibandingkan dengan kost-kost elit yang tepat di depan SMA. Sering pula kami jalan setengah lari karena baru keluar kostan sudah terdengar bel masuk berbunyi, walhasil ngos-ngosan sampai di pintu gerbang, melihat wakasek kesiswaan berdiri berkacak pinggang…hehe. Ini adalah kebiasaan buruk, Kota Magetan yang sangat dingin di pagi hari membuat kami berenam malas mandi pagi-pagi. Jadinya setelah pukul 05.30 acara antri mandi baru dimulai. Dengan cepat dan kilat, gosok gigi harus diluar kamar mandi. Karena kamar mandinya hanya 1.
Dengan harga hanya 20-25ribu tentu saja saya dan teman-teman harus masak sendiri. Tapi kami hanya masak nasi. Pada hari senin pagi, ketika satu per satu berdatangan dari kampung. Masing-masing membawa beras 1-2kg, ada pula yang membawa gula, ada pula ibu yang berbaik hati membuatkan lauk apa saja. Cara memasak nasi yang kami terapkan adalah cara mengetim. Yaitu menanak nasi dengan cara meletakkan beras di wadah alumunium lalu diberi air dengan ukuran dua ruas jari telunjuk. Kemudian dimasukkan ke panci yang sudah diberi air pula. Dijerang di kompor minyak tanah, lalu tunggu selama 1 jam. Biasanya masa menunggu ini, kami manfaatkan untuk belajar, tidur-tiduran, ngobrol, dll. Tak jarang kami lupa, baru ingat setelah tercium bau gosong . . . wush tanpa dikomando satu dua diantara kami berlarian ke dapur, menyelamatkan si nasi.
Karena sudah punya nasi, kami tinggal membeli lauknya. Untuk sarapan, beruntung jarak satu rumah dengan kostan kami ada penjual pecel yang enak sekali. Jadi biasanya secara bergantian sambil antri mandi kami membawa sepiring nasi panas ke penjual pecel, nanti Lik Harti akan menambahkan bermacam sayuran dan menuangkan sambal pecel diatasnya plus satu buah lentho. Menu sederhana ini harganya cukup Rp 500,00. Murah sekali kan. Untuk makan siang, kalau kami pulang tepat waktu tak ada urusan ekstra dan praktikum di sekolahan, kami membeli lauk dari penjual lauk pauk dan gorengan yang berkeliling tepat pukul 13.30 atau membeli gado-gado di tetangga sebelah (gado-gado disini buat lauk, jadi kami tetap menambahkan nasi) atau menggoreng telur ceplok. Bagaimana dengan makan malam? Nasi tentu saja ada. Bu Um, ibu kost kami yang hanya sendirian tinggal di rumah itu. Setiap sore berbaik hati memberi kami lauk, satu mangkok sayur dibagi untuk semua, dan masing-masing satu potong tempe atau ikan lainnya. Walaupun begitu kami sangat menikmatinya, enak sekali rasanya.
Setiap shalat maghrib, isya dan subuh kami shalat berjamaah, salah satu dari kami menjadi imamnya. Usai shalat maghrib, bersahutan bacaan alquran dari kamar masing-masing. Harus saya akui, kondisi di kostan ini pula yang membuat saya lebih sadar untuk mempelajari agama dengan semangat yang lebih baik lagi. Bertahan untuk tak tergoda dengan hal-hal yang tak sejalan dengan hukum Islam.
Tiga tahun bersama teman, juga mbak-mbak kost, sudah menjadi satu keluarga. Suka duka kami jalani bersama. Tawa dan tangis, senang dan sedih. Kost ini memang menjadi saksi dalam 3 tahun perjalanan hidup masing-masing dari kami. Kost kami memang sangat sederhana tapi begitu nyaman, dengan ibu kost yang baik hati pula. Oleh karena itu, hampir tiap sore ada saja teman-teman salah satu kami yang datang ke kost, sekedar ngobrol, belajar, urusan organisasi dan sebagainya. Makanya tak pernah sepi. Kami belajar bersama, tidak bisa satu soal cukup bertanya dengan yang lain. Maka yang bisa akan menjelaskan dengan sejelas-jelasnya. Alhamdulillah saya punya teman kost seangkatan Teh Rini yang pandai Matematika dan Fisika ^^.
Semakin mengingat, semakin berkelebatan penggalan-penggalan kisah di kost sederhana ini. Luar biasa, saya merasakan begitu banyak cinta, begitu banyak pengalaman, yang mengajarkan arti “berjuang” pada saya. Lebih peka, tinggal bersama. Mengikis egois, berbagi dengan teman lainnya. Sampai akhirnya, setelah 3 tahun saya sempurna menuntaskan belajar saya di SMA 1 Magetan. Sempurna juga, waktu saya berdiam di kamar kost saya, rumah kost kami. Mengepak barang-barang, mengemas setiap kenangan. Menyusul pendahulu kami, mbak-mbak kost kami menuju kota impian, menjemput cita-cita. Dengan ucapan syukur dan doa, juga perpisahan yang sebenarnya menyesakkan dada. Mencium takzim tangan keriput ibu kost kami. Bersama ucapan terima kasih yang tiada tara. Kostan itu akan menjadi bagian sejarah hidup saya, pun saya yakin begitu pula dengan sahabat-sahabat saya.
Di ujung jalan itu beberapa tahun kemarin. eheheh.
BalasHapusdan salah satu penghuni kost itu pada akhirnya mengisi sudut relung hatiku yang indah dan menguatkan.
BalasHapushik hik...
Baca tulisan mbak yuli yang ini, mengingatkan saya pada kosan waktu SMA di madiun,..memberikan kenangan dan pengalaman hidup yang luar biasa..
BalasHapusbtw, kos di magetan murah yaa mbaak..
kenangan yang indah... btw skr pintu gerbang sekoalahnya sudah ditutup kl sudah bel, jadi yang telat nunggu sampai 1 jam pelajaran di depan gerbang
BalasHapus@nimas sunyoto
BalasHapusku teringat . . . ku menunggumu . . . (Kahitna Mode ON). hehehe
Jadi ingat juga, beberapa kali nginep di rumahmu bu May^^
@Mas Fifin
Cieeee . . . wah penghuni yang mana yaaa?? jadi penasaran.... ;)
@RirisNovie
Oh iya riris dulu kan SMA 3 Madiun ya . . . Kost dimana dulu?
Iya dulu kost (yang tdk sekalian makan) tahun 2000-2003 sekitar 20-35rb. tapi letaknya tidak tepat di depan SMA.
@minister ndru
ehm begitu yaa sekarang baguslah, jadinya lebih memberi efek jera ke tukang telat.... hehehe
Alhamdulillah 3 tahun di SMA, ndak pernah telat yang sampai di suruh nunggu 1 jam di ruang piket apalagi disuruh merumput.
wah masak ndak tahu dek? Itu lho yang pernah satu kelas sama mas di 1.2, dia ketua PMR jg hehe.
BalasHapusKos di jalan salak mbak, seingatku perbulannya 150an rb gt...lupa euy..
BalasHapus