Pages

Selasa, 15 September 2009

Kue Untuk Ibu Mertua

Mau tidak mau, suka tidak suka Ramadhan sudah hampir sampai di penghujungnya. Artinya sebentar lagi hari Raya Idul Fitri atau kalau orang Indonesia menyebutnya lebaran. Dijadikan ajang saling silaturahmi dan memberi. Ada satu hal baru yang ingin saya lakukan di tahun ini . . . Membuat kue, selain untuk di rumah sendiri (rumah ortu, red) juga ingin saya kirimkan ke ibu mertua . . . ^^


Ehm . . . selama ini saya belum pernah bikin kue kering sendiri, biasanya sekedar jadi asisten amatiran bulik saya itupun sudah 2 atau 3 tahun yang lalu. Berbekal resep yang berhasil saya dapatkan di google. Dengan segala kerumitan proses, alhamdulillah akhirnya selesai.


Menurut resep yang saya jadikan acuan, nama kue tersebut adalah Kue Putri Salju dan Choocochips Cookies . . . insya Allah sudah banyak yang tahu dan pernah mencicipi. Neh hasilnya . . .



ini yang akan dikirim ke ibu mertua


Ehm . . . saat membuat kue-kue tersebut saya tidak sendirian, ditemani my sister dan keponakan saya yang cantik jelita “Mega”.




Mega


Setelah segala proses tadi, alhamdulillah jadi lebih bersemangat untuk belajar dan lebih rajin memasak . . . juga termotivasi dengan rangkaian kata ini . . .

“Dzikir bisa dilakukan setiap saat: ketika berdiri, duduk, dan bahkan telentang. Zikir dalam hati berarti selalu mengingat Allah Swt. dan merasakan kehadiran-Nya. Buahnya adalah malu berbuat sesuatu yang dimurkai Allah Swt. Ketika sedang masak, seorang Muslimah pun bisa tetap berdzikir, yakni merenungkan ayat-ayat kauniyah-Nya”

(K.H. Miftah Faridl dalam Spiritual Kitchen Menjadikan Dapur sebagai Laboratorium Ruhani)



Semangat!!!


Rabu, 09 September 2009

Kualitas Umur

Taken From: Republika, 16 Maret 2006

”Ada dua nikmat yang bisa menipu kebanyakan manusia, sehat dan waktu luang”, demikian pesan Rasulullah SAW kepada Abu Dzar Al-Ghifari. Sehat dan waktu luang menenggelamkan manusia dalam kubangan rutinitas keseharian yang menumbuhkan benih-benih cinta dunia.

Akibatnya, cakrawala hidup pun menyempit. Hidupnya dihayati sebagai kehidupan yang sejati. Padahal, di ujung muara kehidupan ini, terdapat pintu gerbang ke kehidupan yang lebih kekal. Pintu gerbang itu adalah kematian. Hidup manusia merupakan rentangan antara kelahiran dan kematian. Rentangan hidup itu disebut umur. Dalam tiap tahap perguliran hari, umur manusia bukannya bertambah, tapi justru berkurang.

Dalam Al-Mawaidz fi al-Ahadits al-Qudsiyah yang disusun Imam Ghazali, Allah SWT berfirman, ''Wahai anak cucu Adam, kau akan menghadap dengan amalmu. Sejak kau dilahirkan ibumu, umurmu setiap hari digerogoti, setiap hari kau mendekati kuburmu sampai akhirnya kau benar-benar masuk di dalamnya.''

Oleh karena itu, Rasulullah SAW berwasiat, ''Wahai Abu Dzar, manfaatkan yang lima sebelum datang yang lima. Masa mudamu sebelum masa tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, dan kayamu sebelum miskinmu, luangmu sebelum sibukmu, dan hidupmu sebelum matimu.''

Alquran menaruh perhatian atas fenomena umur ini. Alquran menggunakan dua istilah, sinn (usia) dan umur. Usia disebut sinn, yang berarti juga gigi karena gigi menandai usia. Sedangkan kata umur, yang seakar dengan kata ma'mur (makmur), mengandung arti kesinambungan atau ketinggian.

Perinciannya sebagai berikut, sebanyak 27 kali kata yang seakar dengan umur disebut dalam Alquran; tiga kali berhubungan dengan memakmurkan bumi dan melaksanakan umrah; dua kali terkait dengan memakmurkan masjid. Sekali menyebut bait al-ma'mur yang berada di langit, tiga kali menceritakan kisah keluarga Imran, dan lima belas kali berbicara usia.

Nilai kesejatian umur tidak tampak dari kuantitas umur, tapi kualitas umur. Maksudnya, bisa jadi seseorang berumur panjang namun tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menabung amal saleh. Sehingga, umurnya berlalu tanpa makna.

Umur yang berkualitas adalah umur yang diisi secara efektif untuk melakukan kerja-kerja kesalehan, baik kesalehan vertikal (ubudiyah) maupun kesalehan horizontal (muamalah). Kualitas umur tersebut akan lebih nyata terlihat ketika seseorang dijemput sang malaikat maut. Apakah kematiannya ditangisi dan diratapi karena kehilangan, ataukah disyukuri.

Tak ada satu manusia pun yang mampu memprediksi berapa umurnya. Oleh sebab itu, yang mampu dilakukan oleh tiap diri adalah bagaimana mengukir kebaikan sebagai prasasti yang tertoreh dalam sejarah hidupnya.

Note:
For my husband, Barakallah atas nikmat usia (090909)
Semoga sisa usia makin bermakna untuk kualitas yang semakin baik