Pages

Selasa, 28 Juli 2009

Istiqamah


Maka tetaplah (istiqomahlah) kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. Hud:12)

Istiqomah adalah . . .
Abu Bakar as Shiddiq ra.
Ketika ditanya tentang Istiqomah ia menjawab, bahwa istiqamah adalah kemurnian tauhid (tidak boleh menyekutukan Allah dengan apa dan siapapun)

Umar bin Khattab ra.
Istiqamah adalah komitmen terhadap perintah dan larangan dan tidak boleh menipu sebagaimana tipu musang.

Utsman bin Affan ra.
Istiqamah adalah mengikhlaskan amal kepada Allah swt.

Ali bin Abi Thalib ra.
Istiqamah adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban.

Hasan Bashri
Istiqamah adalah melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan

Mujahid
Istiqamah adalah komitmen terhadap syahadat tauhid sampai beretemu dengan Allah swt.

Ibnu Taimiah
Mereka beristiqamah dalam mencintai dan beribadah kepada-Nya tanpa menengok kiri kanan.


Orang yang istiqamah bak batu karang yang tegar menghadapi gempuran ombak-ombak yang datang silih berganti.

Belum Banyak Asam yang Tercicipi



Alhamdulillah . . . sudah 7 bulan saya menikah, menjadi seorang istri, mempunyai suami. Seorang yang selalu membutuhkan support dari saya, dan menjadi sandaran bagi saya. 7 bulan berlalu, tentunya belum banyak “asam garam” pernikahan yang saya cicipi. Lebih banyak terasa manis, walau kadang sedikit asam justru itu membuat citra rasanya lebih kuat. Kuantitas pertemuan yang minim, coz saya dan suami memang jauh-jauhan, 2 pekan sekali baru bertemu . . . membuat harus rajin mengisi kantong-kantong kesabaran. Hanya saja, jarangnya pertemuan itu membuat kami selalu seperti pengantin baru . . . hehe.


Kalau ada pertanyaan gimana rasanya sudah berkeluarga, tapi jauh-jauhan? Tentu saja saya akan menjawab lebih enak tidak jauh-jauhan, satu rumah dengan suami/istri. Seperti tausyiah ustadz Sarjo ketika saya dan suami bersilaturahmi beberapa hari setelah menikah, beliau berkata, cepat atau lambat sebaiknya segera serumah menjadi satu karena bila ada masalah tidak ada penundaan untuk segera menyelesaikannya. Agar setiap masalah yang ada segera cepat terselesaikan. Ibaratnya pohon semakin tinggi maka angin yang menerpapun akan semakin kencang. Begitupula dengan hidup berumah tangga, ada rasa manis namun tak ketinggalan asam, asin, dan pahitnya. Sembari memberikan motivasi kepada kami. Saya masih sangat bersyukur dengan kondisi kami, karena ada pasangan suami istri lain yang mempunyai ujian lebih dari kami. Kuantitas pertemuannya bisa hanya 1, 2 bulan atau 1 tahun sekali. Pun saudara sepupu saya yang akan menikah . . . kemungkinan besar tahun-tahun pertama menikah hanya bertemu 4 bulan sekali.


Misalnya ketika saya sakit, inginnya ditemani suami, ada suami disisi yang memotivasi. Begitupula saat suami telepon dengan suara serak karena flu . . . yang ada hanya kekhawatiran dan nasehat, segera maem, minum obat, istirahat yang cukup dan kurangi minum kopi. Yaa hanya itu, tak ada gerak yang lebik konkret untuk merawat dan mendampinginya . . . hiks . . . hiks. Selama ini kami memang mengandalkan ponsel untuk berkomunikasi . . . memang sebagian besar pos pengeluaran keuangan keluarga adalah untuk pulsa dan tiket . . . ehm, harus berhemat di pos-pos yang lain.


Jadi ingat ketika di atas gerbong kereta, menunggu kereta bertolak dari stasiun Bandung. Sempat ngobrol dengan bapak berusia diatas 50an yang mengantarkan istrinya (Istrinya duduk di seat seberang saya). Dari obrolan sebentar itu, saya tahu bahwa bapak itu adalah seorang dosen di Bandung dan istrinya adalah PNS di pemkot Madiun. Sejak awal menikah sampai mempunyai cucu, bapak-ibu tadi menjalani rumah tangga jarak jauh. Si bapak pulang satu minggu sekali ke Madiun. Ketika aku bertanya kenapa istri bapak tidak mutasi saja, beliau menjawab karena saya ingin menetap di Madiun saja, kalau sudah pensiun. Saya belajar dari bapak ibu tadi, ketika saya cerita kepada suami, dia komentar . . . ternyata tidak hanya kita yang seperti ini. Alhamdulillah saat itu ada sumber kekuatan untuk menjadikan saya dan suami lebih sabar.


Meskipun demikian, tentu saja saya tidak ingin jauh-jauhan dengan suami sampai kami berdua pensiun. Kami tetap berencana untuk serumah. Menunggu waktu yang tepat untuk bergerak . . . insyaAllah semoga Allah memudahkan rencana itu. Karena saya tidak ingin anak kami kelak tumbuh tanpa sosok dan bimbingan ayah yang selalu ada, saya tidak ingin anak saya hanya mempunyai ayah pada hari sabtu dan minggu saja. Pun dengan suami saya, tidak ingin menjadi suami dan ayah weekend . . . ^_^. Kami tetap ingin menyaksikan pertumbuhan buah hati kami kelak berdua, juga membimbing serta membesarkannya bersama.


Yup!! Sabar dan bersyukur dengan kondisi ini.

Berusaha dan berdoa, agar Allah memudahkan langkah-langkah ini.

Bulatkan azzam, dan bertawakal kepada Allah.