Pages

Senin, 23 Februari 2009

Belajar Dari Masalah

Masalah akan selalu ada, itu pasti.

Karena hidup ini sesungguhnya,

hanyalah perpindahan dari satu masalah kepada masalah yang lain.

Kira-kira demikianlah, untaian kalimat hikmah yang ada dalam awal sebuah tulisan di kajian utama majalah Tarbawi (Edisi 196 Th.10 Rabiul Awal 1430 H). Cukup simple, tapi mengena. Seolah membuat pembaca kembali ke titik balik, mengurai masalah demi masalah yang pernah dilalui. Dalam tulisan Tarbawi tersebut dicontohkan, bahwa lapar adalah masalah. Jelas, karena kita harus mencari solusi dengan mencari makan untuk menghilangkan lapar. Dari sedikit contoh itu, kita lebih tahu definisi masalah sebenarnya. Bahkan mengklasifikasikan babak-babak yang kita lalui adalah masalah dan masalah.


Pernah juga saya mendengar kata-kata bijak, bahwa dengan masalah kita akan menjadi dewasa. Memang dengan adanya masalah kita mau tidak mau akan bertahan dan mencoba menyelesaikannya. Karena kalau dibiarkan akan menjadi ”hantu” bagi kita, selalu membebani perjalanan. Masalah yang kita hadapi adalah cara Allah untuk menjadikan kita lebih kuat. Jadi teringat apa yang disampaikan dalam resume sebuah buku oleh teman liqo’. Kalau kita tidak pernah mendapatkan masalah yang berat, jangan-jangan Allah membiarkan kita dalam sesuatu yang melalaikan. Karena sesungguhnya masalah berat yang kita hadapi merupakan cara Allah untuk mentraining kita dan mengingatkan kita. Jadi semestinya kita bisa positif thinking atas masalah yang sedang kita hadapi. Tidak menjadikannya sebagai energi negatif, yang memancarkan pesimisme.


Berikutnya, masalah tidak hanya menyimpan petaka dan menyisakan air mata. Tetapi jua menyediakan ruang-ruang untuk banyak belajar, introspeksi dan bermuhasabah, mendekatkan hubungan dengan rekan, juga memberi stamina terhadap langkah-langkah berikutnya.


Suatu contoh kecil, yang saya alami bersama rekan-rekan seunit kerja. Pada pasca cutinya pempinan kami karena sakit. Otomatis di sebuah SD, dewan guru lah yang harus bergerak menyelesaikan setiap hal yang berkenaan dengan tugas kepala sekolah. Berawal dari sini, masalah-masalah pun berkelanjutan laksana pelari estafet. Bagi seorang guru, bagaimana mengajar hari ini menampilkan apa yang telah direncanakan dalam RPP, sehingga peserta didik berhasil menguasai kompetensi dasar, adalah masalah yang harus dihadapi. Sungguh tidak mudah. Kemudian masalah yang selalu ada itu, bertambah dengan banyaknya tugas-tugas kepala sekolah yang pasti dilimpahkan kepada kami . . . kecuali beberapa hal.


Ini juga menimbulkan rasa tidak nyaman antar rekan kerja, bahkan karena lelah dan rasa tidak nyaman itu emosi pun dapat berubah menjadi luapan air mata. Namun, Allah memang selalu bermurah hati kepada hamba-hamba-Nya. Selalu memberikan masalah secara kompleks, yaitu kompleks dan lengkap dengan penyelesaiannya. Juga memberikan modal untuk bisa bertahan dan mengurai masalah menjadi penyelesaian yang indah, membekas sebagai perenungan panjang untuk kedepannya lebih baik lagi.


Dengan itu semua, pada akhirnya ketidaknyamanan di unit kerja saya berangsur menghilang, dan menjadi komitmen bagi kami untuk bekerja lebih baik, berusaha ikhlas, lebih menghargai keputusan bersama, menghargai pendapat rekan, satu lagi saling memahami kekurangan dan kelebihan. Dan lagi, menerapkan sikap khusnudzon. Karena suudzon itu walapun benar, tetap tidak boleh.


Mengutip lagi apa yang ditulis di Tarbawi. ”Masalah akan selalu ada. Maka masalahnya bukan lagi masalah itu sendiri. Tapi apa yang telah kita perbuat dan kita berikan untuk menyelesaikannya. Allah selalu punya caranya sendiri untuk memberi kejutan-kejutan.”


Nah, setiap kita punya masalah . . . baik di rumah, di tempat kost, di tempat kerja, di masyarakat, di manapun. Yang terpenting adalah berani menghadapinya dan melibatkan Allah dalam menyelesaikannya. Karena Allah telah menjanjikan kepada hamba-Nya, “dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”; “Dan bertawakalah kepada Allah, (niscaya) Allah mengajarimu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.


Jadi, tidak ada kalimat afirmasi lain, yaitu hadapi masalah dan ubah masalah tersebut menjadi energi.

Senin, 09 Februari 2009

Ehm . . . Berumah Tangga Itu Unik.


Mempunyai rekan kerja, teman sekantor yang sudah ibu-ibu bahkan usianya tidak jauh dari ibu kita sendiri, pastinya akan mendapatkan kesan yang ”beda”. Selain itu banyak juga pengalaman yang akan kita dapatkan dari beliau-beliau. Secara, usia mereka yang sudah matang menjadikan lebih unggul untuk masalah ”asam garam” kehidupan. Walau terkadang terasa gak nyambung dengan usia kita yang lebih muda. Kadang BeTe juga setiap hari yang diomongin seputar masakan, anak-anak, harga sembako yang kian melonjak dan sebagainya. Tetapi kenapa tidak kita ambil sisi positifnya saja???

Itu juga yang berusaha saya lakukan selama ini, belajar dari mereka. Hal yang paling sering diobrolkan tentunya adalah masalah rumah tangga, mulai dari kebiasaan suami, anak, sampai bumbu dapur. Saya yang saat mulai ada di tempat kerja sekarang masih berstatus nona, tentunya hanya menjadi pendengar ketika para senior saya itu mulai curhat satu sama lain. Merekam apa yang mereka katakan, membandingkan satu cerita dengan cerita lainnya, mencoba memahami bahkan menganalisis berdasarkan kejiwaan dan hati saya, empati atas apa yang dikemukakan. Intinya saya mencoba belajar dari apa yang saya dengar. ”Jika kelak saya berkeluarga dan mengalami kerumitan dan merasakan bumbu-bumbunya maka bisa lebih siap” demikian yang saya pikirkan saat itu.


Alhamdulillah, sekarang setelah hampir 2 bulan mempunyai keluarga baru . . . saya mulai mengalami apa yang dialami oleh rekan kerja saya. Pastinya dengan kadar yang belum ada seujung kuku. Mulai ada hal-hal baru yang membuat hidup lebih berwarna . . .


Kini, ada seorang yang mengkonsultasikan kehidupannya kepada saya, meskipun kadang masih sungkan memberi masukan sesuai pandangan sendiri. Menjadikan diri saya adalah bagian terpenting dari hidup suami, begitu juga sebaliknya ^_^. Satu contoh adalah saat suami mengkonsultasikan gajinya, berapa yang harus dinafkahkan kepada isteri, berapa yang diberikan kepada ibunya (ibu mertua saya, red), berapa persen yang harus dimasukkan ke rekening bersama, berapa yang harus diinfakkan, berapa untuk biaya hidup dan cadangannya . . . ada keterkejutan, karena belum terbiasa tadi . . . masih merasa belum berhak mengurusi uang gaji suami. Duh . . . kadang mengurusi gaji sendiri saja masih kurang termanaj, eh ini ada yang mengkonsultasikan gaji juga ^_^. Itu hanya sekelumit contoh, tentunya masih banyak lagi. Namun seperti yang tersampaikan diatas, bergaul dengan rekan kerja yang dah banyak pengalaman berumah tangga membuat saya sedikit banyak mulai belajar. Jadi keterkejutan itu tidak berlarut-larut dan mencoba menetralisirnya dengan pemecahan yang lebih bijaksana . . .belajar dari mereka-mereka.


Dan masih begitu banyak, sketsa-sketsa kecil yang menyertai hari-hari. Pada akhirnya, terlontarlah kesan bahwa Berumah tangga itu unik. Bahkan ketika saya mengungkapkan hal tersebut kepada rekan-rekan kerja, mereka langsung menukasi, ”Wah tidak sekedar unik, tapi kompleks mbak”. Tentu saja, demi mendengarnya saya hanya tersenyum. Yach . . . semoga keunikan dan kekompleksan itu akan sukses kami lalui . . .