Pages

Selasa, 25 November 2008

Refleksi: Guru . . . (Bukan Lagi) Pahlawan Tanpa Tanda Jasa


Hari ini tanggal 25 Nopember, tanggal yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai Hari Guru. untuk memperingatinya kemarin dan hari ini yang biasanya pakai seragam dinas, jadi spesial karena di lingkungan pendidik harus memakai batik PGRI.
Lalu, judul tersebut di atas bukanlah dibuat tanpa sebuah dasar yang jelas atau asal saja.


Membuat judul itu, karena saya baru tahu (tepatnya pekan kemarin ketika latihan paduan suara di cabang Dinas Pendidikan kecamatan) kalau lagu hymne guru. . .yang sudah kita hafal di luar kepala, ternyata judul dan baris terakhir liriknya diganti. Trus jadi bagaimana??


Lagu Hymne Guru ”Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” itu kini telah berubah, judulnya sekarang ”Pahlawan Pembangun Insan Cendekia” hal tersebut diikuti perubahan pada lirik baris terakhir. Ketika menyanyikannya pun terasa lain, membuat lidah jadi beribet ketika sampai pada ujung lagu

. . . .

Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan

Engkau patriot Pahlawan bangsa Pembangun Insan Cendikia . . .

(perubahan oleh Ditjen PMPTK Depdiknas atas persetujuan pencipta, 2007)


Sampai sekarang saya sendiri belum tahu alasan Ditjen PMPTK Depdiknas mengubah lirik tersebut. Sejak kita masih SD, kita sudah diajari guru-guru kita . . . kalau guru merupakan pahlawan tanpa tanda jasa. Jadi apakah sekarang para guru sudah mendapatkan jasa yaaaa . . . .


Menurut Dr. Arif Rachman, seorang praktisi pendidikan . . . Kehadiran guru efektif menjadi kunci kesuksesan lembaga pendidikan melahirkan genersai unggul. Mungkin juga karena alasan tersebut, lirik lagu diubah . . . sebagai support untuk para guru supaya lebih mengembangkan kompetensi melahirkan insan-insan cendekia.


Lepas dari hal tersebut di atas, Guru adalah seorang pendidik. Seorang guru menjadi pendidik di zamannya. Ia memegang peranan penting dalam perkembangan suatu masyarakat. Oleh karenanya, jika ia dapat melaksanakan tugas, mengarahkan anak didiknya kepada pendidikan agama serta perilaku yang baik, maka ia akan mendapat keberuntungan baik di dunia maupun di akhirat.

Seorang guru adalah pemimpin di sekolah yang menjadi tempat mengabdikan ilmunya. Ia bertanggungjawab atas apa yang terjadi pada anak didiknya. Oleh karenanya, hendaknya seorang guru harus mampu memperbaiki diri terlebih dahulu. Jadi bukan sekedar mengajar dan mengajar, melahap habis kurikulum mentah-mentah. Mengejar target yang timpang, hanya sekedar menjejali materi-materi yang dibukupun ada.


Tetapi diharapkan untuk bisa mencetak insan cendekia tadi, atau saya lebih suka menyebutnya rabbani generation. Menjadikan nilai plus pada anak didik, sehingga menjadi pribadi-pribadi shalih yang plus . . . plus pintarnya juga plus akhlaknya. Tidak perlu terlalu formal dengan mengkhususkan pada satu pelajaran agama saja, misalnya. Tapi mencoba memasukkan nilai-nilai hikmah itu dalam pelajaran. Mencoba menyampaikan pesan dengan cara yang menarik. ”Dan (ingatlah) ketika luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya (anak itu)” (QS. Luqman:13)


Mengutip tulisan Muhammad Jameel Zeeno dalam Resep Menjadi Pendidik Suses. Syarat-syarat menjadi pendidik sukses adalah:

1) Menguasai bidang pelajaran yang diasuh

2) Menjadi teladan dalam perkataan dan perbuatan

3) Mampu mengamalkan apa-apa yang diajarkan

4) Berperan sebagai pelanjut perjuangan para nabi

5) Memiliki keluhuran akhlak dan tingkat pendidikan

6) Saling membantu dengan sesama pendidik

7) Mengakui suatu kebenaran sebagai hal yang utama

8) Senantiasa berlaku jujur dalam bertutur

9) Berhias diri dengan sifat sabar dalam setiap hal.


Nah, seorang pendidik (guru) hendaknya bijak dalam memberikan pendidikan dan pengajaran. Ia juga hendaknya menyukai profesi dan pekerjaannya itu, serta disukai di kalangan rekan-rekannya juga siswa-siswanya. Menasehati, memberi arahan pada mereka dengan kelembutan. Ini merupakan bentuk pengamalan terhadap firman Allah Swt., ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik,” (QS. An Nahl:125)


Ia harus tahu, bahwa pekerjaannya adalah pekerjaan yang paling mulia. Karena masa depan suatu bangsa, agama, dan negara terletak pada bagaimana ia memberi arahan terhadap murid-muridnya. Pendidikan mereka, pengajaran mereka akan hal yang bermanfaat untuk mereka dan hal-hal yamg dapat menjadikan anak didik menjadi generasi beriman, mencintai agama dan bangsanya.


Semoga . . .karena hal tersebut di ataslah lirik pada hymne guru diganti. Bukan karena sudah mengaharapkan tanda jasa dalam gerak dan kerjanya. Seperti yang sedang ramai sekarang adalah program sertifikasi guru, semuanya berlomba-lomba untuk mengejarnya. Mendapatkan tunjangan 1 kali gaji, memang lumayan menggiyurkan. Apalagi bagi PNS, terlebih buat guru-guru bantu yang statusnya masih belum jelas. Itu juga merupakan sebuah upaya dari pemerintah untuk mewujudkan 20% subsidi untuk pendidikan.


Apapun itu, semuanya pasti ada konsekuensinya. Apa niat untuk bekerja, mengajar, mendidik adalah sebuah pilihan. Pun tunjangan dari sertifikasi juga merupakan hak, tentunya dengan tunjangan tersebut diharapkan tingkat profesionalisme dan pertaruhan kompetensi guru dapat lebih maksimal.


Rosulullah Saw. bersabda "Apabila ada seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara berikut: amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak saleh" (HR. Muslim).


Jadi untuk anda para pendidik, mari manfaatkan kesempatan ini. Karena seorang guru akan memperoleh manfaat dari pengajarannya akan ilmu yang bermanfaat kepada para siswanya setelah ia meninggal dunia kelak.


"Yaa Allah, ajarkan kami apa yang bermanfaat buat kami, dan berikanlah kemanfaatan pada apa yang telah Engkau ajarkan pada kami itu serta tambahkanlah pengetahuan kami."

Senin, 17 November 2008

Kerinduan Untuk Bu Giek . . . (Jilid 2)

Sudah lebih dari sebulan, kami tidak menemukan sosok beliau di meja kerjanya. Tidak mendapatkan aura kepemimpinannya, tidak tersentuh oleh pesan-pesan bermaknanya, tidak mendapatkan senyum-senyum, apapun yang khas pada diri beliau. Seperti dulu ketika beliau masih sehat, energik, cekatan, berwibawa menjadi pemimpin bagi kami. Rindu terhadap beliau serasa senantiasa menggumpal di sanubari . . . .

Kami kerap menemuinya di rumah, ketika free class ada saja diantara kami yang meluncur ke kediaman beliau . . . sebatas menemui, mengajak bicara, menyapa, menyentuh telapak tangan, dan menciumi wajahnya, mendengarkan apapun yang dituturkan dengan lancar meski tak jarang kami kesulitan untuk menangkapnya. Yah . . . penyempitan darah di otak yang melemahkan syaraf-syaraf tubuh beliau bagian kiri telah membatasi geraknya . . . .


Walau begitu sikap bijak bestarinya masih saja mempesona, berkali ketika kami mengunjuginya beliau menyampaikan berkali-kali maaf atas semua khilafnya, berkali-kali minta didoakan untuk kesembuhannya. Berkali pula beliau berkata, ingin bersabar menerima semua ujian ini, ujian yang semoga bisa menghapus sebagian dosa-dosa, memperbaiki timbangan di akherat kelak.

Walau dalam kondisi seperti itu, masih tetap ada semangat yang membuat kami malu . . .

Semangat luar biasa, yang menyertai harapan dan doa. Kami dengar meski samar, beliau berkata, ”Yaa Allah berikanlah aku waktu untuk sembuh . . . berikanlah aku waktu untuk sembuh meski sebentar saja, agar aku bisa menyelesaikan kewajiban dan janji-janjiku”


Ahh, beliaulah Bu Giek . . . yang mengajarkan padaku tentang arti seorang guru, guru bukan hanya sebagai pengajar tapi juga sebagai pendidik. Bu Giek . . . yang ketika pertama aku resmi dinas di wilayah kerjanya memberikan untaian petuah untuk bisa menjalani hidup dan kerja dengan penuh kesabaran serta kesyukuran, untuk selalu memperbaiki niat untuk apa bekerja, untuk bisa bijaksana dalam kerja dan rumah tangga (kelak), untuk bisa melaksanakan beban amanah sebaik-baiknya, untuk memaknai hidup bukanlah untuk sekedar meminta tapi juga memberi, bukan sekedar suka tapi juga duka, bukan sekedar menang tapi juga kalah, bahwa hidup penuh dengan bantingan-bantingan perasaan yang luar biasa, menyenangkan juga menyakitkan.


Ahh, beliaulah Bu Giek yang masih ingin berkarya, ingin mewujudkan visi dan misi SD dengan sebenarnya, masih ada rencana besar untuk kami anak buahnya. Tapi memang begitulah, secara sunatullah manusia hanya bisa berencana. Seperti kata-kata dalam sepotong SMS yang masuk di HPku beberapa minggu yang lalu ”Tuliskan rencana antum dengan sebuah pensil. Tapi berikanlah penghapusnya pada Allah. Biarkanlah Allah Swt menghapus bagian-bagian yang salah dan menggantinya dengan rencanaNYA yang lebih Indah”. Semuanya tidak akan pernah bisa berjalan tanpa keridhoanNya.


Bersama kerinduan-kerinduan ini begitu banyak makna. Untuk bisa menjaga lisan kita, untuk selalu mensyukuri setiap kondisi, mensyukuri waktu-waktu yang diberikan kepada kita, mensyukuri waktu sehat kita . . . untuk selalu berdoa atas jaminan kesehatan kepada Allah di setiap harinya, Allahuma afini fii badanii, Allahuma afiini fii sam’ii, Allahuma afiini fii basarii . . . Ya Allah, sehatkan badanku; Ya Allah, sehatkan pendengaranku; Ya Allah, sehatkan penglihatanku . . .

Ahh, beliaulah Bu Giek, yang pekan ini akan melaksanakan operasi di kepala tahap kedua . . . dipercepat karena dokternya akan naik haji. Beliaulah Bu Giek yang ingin kami temani ketika berjuang di tahap kedua. Tentunya juga sepotong doa . . . . doa yang menguatkan. Karena doa adalah kekuatan terbesar di muka bumi ini . . . .

Jumat, 07 November 2008

Obrolan Ibu-Ibu di Kantor Hari ini . . .

Di manapun tempat kerjanya, waktu istirahat selalu saja dinantikan. Walau hanya sebentar saja, tetapi sudah bisa memberi kesegaran dan mensuplay tenaga untuk melanjutkan tugas. Waktu istirahat biasanya dimanfaatkan untuk sekedar minum, makan (kalau pas ada makanan di ruang kantor) dan tak mungkin ketinggalan ngobrol dengan topik-topik ringan. Menyempatkan membaca headline news di Koran hari itu. Yang merefresh kejenuhan . . .

Entah siapa yang memulai dan entah bagaimana awalnya topik obrolan hari ini cukup “lain” tapi juga seru !!!. Pembicaraannya adalah tentang kebiasaan-kebiasaan kecil suami masing-masing. Kebiasaan-kebiasaan kecil, yaaa . . . kecil saja tapi cukup menjengkelkan, menambah pekerjaan seorang isteri, plus membuat kemampuan ngomel ibu-ibu itu meningkat . . . ^-^.


Lalu apa saja sih . . . kebiasaan-kebiasaan itu?? Sesuai apa yang saya dengar antara lain, ada yang suka setelah mandi handuknya dibawa masuk ke kamar lalu diletakkan di tempat tidur sehingga tempat tidur jadi basah . . . trus gak cukup itu saja, sang suami lupa mengeluarkannya alias meninggalkan begitu saja di tempat tidur. Ehm . . . tentu saja ini menjengkelkan, tempat tidur basah . . . lalu siapa yang akan membawa keluar kamar, pasti ujung-ujungnya sang isteri. Ini menambah daftar kerjaan lho!. Ada yang lain, kebiasaan membuka pintu lemari atau kulkas tapi lupa menutup kembali, seusai makan . . . piring dibiarkan saja di meja makan, baju kotor dibiarkan tergantung di dalam kamar, membuat berantakan baju di dalam almari ketika mengambil pakaian, menyalakan kran lupa dimatikan sehingga rumah kebanjiran. Bahkan kebiasaan memasukkan gayung di kamar mandi pun jadi suatu masalah. Secara silih bergantian, bersahutan ibu-ibu itu menyampaikan, urun rembug tentang topik hangat pagi ini. Semuanya angkat bicara. Tak ketinggalan Mrs. Nana yang baru mengarungi bahtera pernikahan selama 3 tahunan. Ups!! Tentu saja aku menjadi perkecualian, hanya menjadi pendengar sambil keempat mataku membaca koran hari ini. Sesekali juga tersenyum mendengar cerita-cerita ibu-ibu seniorku itu. Maklum belum punya pengalaman . . .^-^


Lonceng yang berbunyi pun mengakhiri sesi obrolan 15 menitan hari ini, 15 menit pertama yang dijadikan sebagai ajang curhat . . .


Sambil beranjak menuju kelas . . . Jadi ingat, tulisan Sinta Yudisia (novelis, red) tentang kisah pernikahannya, Suami (laki-laki) bukanlah tipe orang yang senang mengerjakan hal-hal kecil khas perempuan. Masalah kebiasaan memang hal-hal sepele, namun juga membuat jengkel. Untuk itu perlu dibicarakan. Sehingga masalah kebiasaan-kebiasaan itu dalam sebuah keluarga secara perlahan dapat diadaptasi oleh kedua belah pihak. Lucu juga, seperti itukah serunya kehidupan berumah tangga, ada yang menyebut seninya. Ehm . . . satu pelajaran, yang menuntut persiapan . . .

Sabtu, 01 November 2008

Pendekatan Tematis “Es Buah” atau “Ice Juice”???

“Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, bukan sesuai dengan zamanmu” (Ali bin Abi Thalib Ra)

Mendengar istilah tersebut menimbulkan kebingungan tersendiri. Seharusnya gak sepatutnya aku bingung, karena merupakan salah satu istilah dalam metode-metode pembelajaran dewasa ini. Tepatnya sekitar 2 pekan kemarin, ketika mengikuti pengarahan pembuatan soal LKE (Lembar Kerja Evaluasi) di Dinas Pendidikan Kabupaten . . . terlontarlah istilah tersebut yang menjadi salah satu pembahasan. Sementara aku terjebak dalam kebingungan dengan istilah es buah dan ice juice.


Tidak asing lagi untuk pendekatan tematis, karena sejak kuliah pun sudah terbiasa dapat tugas membuat jaring-jaring tema dengan tema tertentu. Pendekatan tematis adalah salah satu metode pembelajaran untuk kelas rendah (kelas 1, 2, dan 3 SD), dimana pembelajaran dilaksanakan secara terintegrasi antara satu pelajaran dan pelajaran lain. Jadi dalam proses belajarnya, dalam satu kali pertemuan . . . guru dapat mengajarkan beberapa pelajaran. Misalnya hari itu sang bu guru kelas 1 datang ke kelas membawa kertas bergambar tumbuhan lengkap dengan bagian-bagiannya, mulai dari akar sampai dengan daun. Nah si murid diminta menulis bagian-bagian tumbuhan tersebut, lalu mewarnainya, setelah selesai menceritakan bagian-bagian tumbuhan di depan kelas. Dalam satu babak pembelajaran tadi, ada pelajaran IPA (mengenal tumbuhan), ada pelajaran SBK – Seni Budaya dan Kesenian (mewarnai gambar) dan bahasa Indonesia (berbicara, menceritakan bagian tumbuhan).


Lalu bagaimana dengan es buah dan ice juice tadi??? Alhamdulillah tanpa bertanya, salah satu dari pakar kelas rendah memberikan sedikit deskrepsi tentangnya. Jadi macam-macam es dalam pendekatan tematis adalah sebuah analogi. Kalau pendekatan tematis es buah dalam proses belajar dan evaluasinya masih tampak jenis pelajarannya, evaluasinya masih sendiri-sendiri . . . ada evaluasi IPA, bahasa Indonesia, IPS dan sebagainya. Sedangkan pendekatan tematis ice juice, proses ini benar-benar terintegrasi . . . dalam evaluasinya juga evaluasi tematis tidak per pelajaran, dalam satu lembar evaluasi mencakup beberapa pelajaran. Notabene, selama ini aku selalu mendapat amanah untuk mengajar di kelas tinggi (kelas 4, 5, 6) . . . jadi seperti merasa gak perlu mengetahui dan bisa tentang piranti mengajar di kelas rendah. Wah . . . suatu kesalahan besar.


Kemudian ketika kemarin, mampir ke Puskesmasnya akhwat, drg. Elli untuk ngambil bahan buletin . . . bu dokter menodongku dengan pertanyaan bagaimana mengajar tematis itu, lengkap dengan sebuah buku pelajaran tematis untuk kelas 1 (ceritanya mbak Elli mau nentir si Bilal, anaknya yang masih kelas 1. karena mau ujian Mid semester). Ups, agak bingung juga neh . . . ehm, dengan terbata-bata mencoba menjelaskan . . . mengingat-ingat materi kuliah yang sebenarnya sangat teoritis sekali dan alhamdulillah dah dapat sedikit info tentang 2 es tadi. Hehe . . . . ahh semoga bu dokter gak tambah bingung dengan apa yang kujelaskan. Rasanya malu banget, gak expert di bidangnya sendiri . . .


Seperti itulah, mengapa untuk menjadi seorang yang sukses dunia dan akherat kita harus banyak belajar. Islam menuntut, seorang muslim untuk tidak hanya menguasai spesialisasi di bidang tertentu. Tetapi harus mempunyai serangkaian ilmu pengetahuan lain di luar itu dalam batas tertentu. Jika tidak mengembangkan wawasan, seorang muslim akan tertinggal oleh kemajuan zaman dan pada gilirannya tidak dapat bersaing dalam kompetisi hidup bersama kelompok lain.

Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu . . .” (QS. Al Qasas:77).